Thursday 7 January 2016

Jihad: Ziarah Rohani dan Perang Suci

Pada sekitar tahun 1850 SM, seorang lelaki bernama Abram meninggalkan rumahnya di Ur Kasdim dan melakukan perjalanan menuju tanah Kanaan, Israel moderen. Abram dititahkan oleh Yang Maha Agung untuk hijrah. Sang Maha Agung rupanya telah memutuskan untuk menjadi Tuhan Khusus bagi Abram dan keturunanya. Abram harus mengganti nama menjadi Ibrahim, sebagai tanda bagi status barunya, dan ia harus berjanji setia pada Tuhan, dengan balasan berupa berkah bagi Ibrahim dan keturunannya. Peristiwa ini telah mengubah dunia hingga saat ini.




Beberapa pekan lalu ketika mengunjungi negeri Jerman, Paus Benedicto XVI menyempatkan diri bertemu dengan para sarjana di sebuah universitas di Jerman dan berpidato di sana. Salah satu kutipan dalam pidatonya menimbulkan reaksi dari umat Islam di seluruh dunia yang memaksa “Sang Kefas” harus menarik kembali ucapannya dan meminta maaf pada umat Islam di seluruh dunia pada hari Minggu 17 September kemarin. Dalam pidatonya, Paus mengkritik konsep Jihad dalam Islam sebagai sebuah tindak kekerasan (bahkan saya melihat lebih jauh: teror!). Sebagai orang yang awam akan agama (terlebih Islam) saya bertanya-tanya pada diri sendiri; apa benar Jihad dalam Islam demikian adanya? Apa sih sebenarnya Jihad? Saya merasa penting sekali untuk memahami konsep Jihad dalam Islam.
Setelah mencari beberapa sumber, akhirnya saya menemukan pengertian tentangnya. Jihad berasal dari bahasa Arab, yang secara harafiah berarti “perjuangan” dan biasa digunakan dalam Alquran sebagai kata kerja: kaum Muslim didorong untuk “berjuang secara perkasa di Jalan Tuhan”. Gagasan perjuangan dan pencapaian ini demikian penting dalam Islam dan kata Jihad selalu mempertahankan konotasi ini. Tetapi paling sering kata “perjuangan” ini mengacu pada perang yang dilakukan Muhammad melawan orang-orang Arab nonmuslim di Arabia. Di kemudian hari, setelah maknanya diperluas, kata ini menjadi bermakna “perang suci” dan dalam pengertian itulah kata ini didiskusikan dalam pembahasan Syariah, berabad-abad setelah Muhammad wafat. Perang yang dilakukan oleh Muhammad dikenal dengan Perang Badar, yang disebut farqan oleh Muhammad. Kata farqan sendiri memiliki makna ganda dalam bahasa Arab yang berarti “penyelamatan dan pemisahan”.
”maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (Allah yang berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir” (Q.S. al-Anfal [8]: 17-18).
Kemenangan tak terduga ini (313 orang Muslim melawan hampir 1000 tentara Mekah) senyatanya menjadi pembuka perang suci atau Jihad (semula tidak dimaksudkan oleh Nabi). Namun hal ini pun tidak membuat Islam menjadi agama pedang, seperti apa yang dikatakan oleh Kaisar Konstantin dalam pidato Sri Paus. Kata Islam sendiri berasal dari akar bahasa Arab yang berarti “damai”. Alquran mengutuk perang sebagai keadaan tak lazim dan bertentangan dengan kehendak Tuhan: ketika para musuh kaum Muslim berbuat kerusakan maka Allah memusnahkan mereka. Perang dalam Alquran dipandang sebagai sebuah keadan yang tak terhindarkan dan kadang menjadi kewajiban positif untuk mengakhiri penindasan dan penderitaan. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dianjurkan pada Taurat dalam lima bab awal Alkitab. Walaupun Islam tidak mendewakan perang, adalah benar jika konsep Jihad amat penting dan menentukan dalam Islam. Ketika kaum Muslim tak taat lagi pada Tuhan, para kelompok Muslim yang saleh menarik diri dari masyarakat dan melakukan migrasi ke gurun pasir. Mereka memandang diri mereka sebagai kaum yang diburu oleh kelompok mapan dan merasa kamu muslim wajib bertindak demi mengakhiri penindasan. Kelompok pertama dan yang paling radikal lahir pada abad ke VII, sekte Kharaji, yang menganggap Jihad sebagai salah satu rukun Islam.
Pada tahun 628, Muhammad dan sekitar 1400 Muslim berangkat dari Medinah menuju Mekah untuk melaksanakan Ibadah Haji. Seturut dengan titah Muhammad para tentara ini tidak membawa senjata lainnya kecuali pedang yang disarungkan. Kedatangan Muhammad dengan tentara sejumlah itu membuat para warga Mekah ketakutan kalau Muhammad menyerang. Namun Muhammad malah berhenti di Hudaybiyyah, di luar Tanah Haram (wilayah 20 mil persegi Kabah, tempat dimana semua tindak kekerasan dilarang). Muhammad berkata pada utusan orang Mekah bahwa Ia hanya ingin melaksanakan ibadah Haji sebagai hak setiap orang Arab. Melalui diskusi yang alot dan dengan sejumlah syarat akhirnya orang Mekah mengijinkan Muhammad menjalankan ibadah Haji dan selama itu orang Mekah akan mengungsi ke luar kota. Perjanjiann tersebut berlangsung selama 10 tahun, sebelum orang Mekah melanggarnya dengan menyerang suku Khuzza, sekutu kaum Muslim. Muhammad dengan lebih banyak tentara berangkat ke Mekah. Penduduk Mekah mengirim utusan dan berunding dengan Muhammad guna menghindari pertumpahan darah. Muhammad mengajukan syarat jika Mekah menerimanya sebagai pemimpin maka pertumpahan darah tidak akan terjadi. Tak ada orang Mekah yang dipaksa masuk Islam, ia hanya akan menghancurkan berhala-berhala yang ada di Kabah dengan tangannya sendiri. Muhammad pun akhirnya menjadi pemimpin Mekah dan ia telah mengembalikan Kabah pada agama Ibrahim dan Ismail. Pada tahun 632, Muhammad memutuskan untuk meng-Islam-kan tempat-tempat ibadah pagan di sekeliling Mekah, yang menjadikannya sebagai upacara ziarah Haji (dikenal hingga sekarang). Pada setiap tempat ibadah, ia dan pengikutnya melakukan dan menafsir ulang semua ritus-ritus berhala Arab yang lama. Mereka melempar kerikil ke pilar di Mina, sebagai perlawanan terhadap iblis (ramalan dalam Wahyu tentang Binatang Buas yang merangkak dari dalam sumur untuk membinasakam umat manusia, bagi orang Kristen makluk ini desebut Anti Kristus) dan ketakbermoralan. Mereka lari tujuh kali antara lembah Ahafa dan Marwa, mengenang kecemasan bunda Ismail, Hajar, ketika ia harus lari dengan keputusasaannya mencari air selama hari-hari pertamanya di pengasingan di gurun pasir. Mereka minum dari mata air yang ditunjuk Tuhan pada Hajar atas jawaban dari doanya. Muhammad juga melakukan ifadlah, melaju, dengan untanya ke sebuah tempat di Muzdalifah, titik terendah antara gunung Arafah dan Mekah.
Ketika kaum Muslim melaksanakan Haji ke Mekah masa kini, mereka datang dari seluruh penjuru dunia dan memakai pakaian putih, yang menandakan kesetaraan. Kesetaraan semua orang di mata-Nya. Disamping itu hal ini membuat mereka merasa sebagai sebuah keluarga besar yang datang dari Ayah yang sama, Adam dan Ibrahim. Muhammad wafat pada tahun 632. Namun ia berhasil menyatukan hampir seluruh Hijaz. Seratus tahun kemudian kekaisaran Islam baru tersebar dari Himalaya hingga Gilbratar. Perluasan wilayah pada masa ini tentu saja melalui sejumlah perang yang panjang.
Setelah kematiannya, kaum ulama dan fukaha mulai mengembangkan teori Jihad. Mereka mengajarkan bahwa karena hanya ada satu Tuhan, maka mestinya hanya ada satu negara di dunia ini dan negara itulah harusnya tunduk pada agama sejati. Negara Muslim (Dar al-Islam) wajib menaklukan negara non Muslim (Dar al-Harb) mereka sehingga dunia dapat mencerminkan satu Ilahiah. Setiap Muslim harus berpartisipasi dalam Jihad dan Dar al-Islam tidak boleh berkompromi dengan Dar al-Harb. Paling jauh, gencatan senjata dapat disepakati dengan kaum non Muslim, yang berlangsung paling lama sepuluh tahun. Doktrin awal tentang Jihad inilah yang memberikan citra Islam sebagai agama pedang. Teori ini dapat dikembangkan ketika Dar al-Islam nampaknya memang dapat menguasai dunia. Namun tidak terjadi demikian. Dar al-Islam mengalami masalah internal dan kaum Muslim menyadari bahwa bahwa tidak ada lagi perang suci menaklukan dunia baru. Kaum Muslim juga menyadari bahwa mereka memiliki kekaisaran dengan batas yang tetap dan sebagaimana kekaisaran Yahudi dan Kristen, mereka menyadarai kemenangan bagi mereka hanya ada pada tibanya Hari Akhir. Daripada berperang melawan negara tetangga mereka memilih untuk berdiplomasi dan mengembangkan kontak-kontak dagang dengan dunia luar. Pada titik ini konsep Jihad ditinggalkan.
Jika orang Barat ditanya mengenai tiga agama monoteistik (Yahudi, Kristen dan Islam), mana yang paling keras di antara mereka; mereka tanpa ragu akan menjawab “Islam!”. Selama ratusan tahun orang Barat mengenal agama Islam sebagai agama pedang, yang merupakan prasangka warisan sejak periode Perang Salib dimana Jihad menjadi hantu yang mengerikan, yang menyapu bersih Timur Tengah dan Afrika Utara. Ini adalah salah satu contoh pandangan distorsif Barat terhadap Islam, agama yang (kebanyakan) tidak mereka kenali. Walapun tidak dapat disangkal bahwa “perang suci” atau Jihad memainkan peran yang amat penting dalam penyebaran agama Islam, tetapi sangatlah keliru jika memandang Islam sebagai agama yang haus darah dan agama yang agresif. Ketika kaum Muslim menaklukan sebuah masyaeakat, mereka tidak berusaha memaksakan peralihan agama dari para penduduk daerah taklukannya (konsep kolonialisme lama Gold, Gospel dan Glory). Teladan yang ditunjukan Muhammad dalam menaklukan Mekah benar-benar diilhami decara baik oleh pengikutnya. Lagipula Alquran mengajarkan agar kaum Muslim untuk menghormati Ahlulkitab, dan dalam kekaisaran Islam kebebasan agama bagi semua orang benar-benar terjamin. Disamping itu adalah tindakan bunuh diri jika kaum Muslim memaksakan agama Islam pada penduduk jajahan, hal ini mengingat jumlah tentara jajahan yang minoritas di dalam daerah jajahan. Masyarakat yang ditundukan oleh tentara Muslim memiliki pandangan yang berbeda tentang Jihad. Mereka tidak menganggap hal ini sebagai bencana, malah sebaliknya. Kita akan menganggap hal ini aneh namun bagi masyarakat Timur Tengah abad VII penaklukan oleh kaum Muslim mengawali babak baru sejarah mereka. Mereka telah lama menjadi milik (jajahan) banyak kekaisaran. Dengan kekaisaran Islam yang unik (yang tidak memaksakan peralihan agama) mereka merasa penaklukan ini sebagai sebuah pembebasan. Satu hal yang patut dicatat bahwa Afrika Utara telah lama menjadi jajahan Romawi demikian pula agamanya. Kemudian banyak masyarakat yang takluk ingin memeluk Islam (perlu dicatat bahwa ini adalah pandangan masyarakat abad VII) karena keunikannya. Bagi Dunia Timur Tengah dan Afrika Utara, Islam menawarkan agama yang jauh lebih dapat diterima ketimbang Kristen, teologinya jauh lebih sederhana. Doktrin Kristen tentang Trinitas misalnya, akan sangat indah bagi seseorang yang dibesarkan dalam falsafah Yunani. Tapi bagi seorang Timur Tengah dogma tersebut sangat tidak dapat diterima. Pertanyaan yang kemudian muncul: bagaimana seorang Yessus kemudian menjadi Tuhan (Kristus) dan sekaligus manusia (Isa)? (hal ini kemudian dianggap bidah dan diburu oleh Kristen Ortodoks dari Byzantium). Mereka lebih menerima Yessus sebagai nabi yang agung (Isa al-Maseh) karena hal ini lebih masuk akal.
Pada masa sekarang orang Barat cenderung memandang Islam sebagai agama yang bertentangan dengan kemajuan. Ini karena budaya Barat telah menggusur budaya Muslim tradidional dan hal ini juga merupakan waeidan periode kolonial, ketika Islam digambarkan sebagai agama-fatalistik yang anti perubahan. Namun Islam sebenarnya agama-dinamis yang menuntut aksi: kaum Muslim harus bertindak untuk mempraktikan maksud Tuhan. Istilah yang digunakan kaum Mislim kebanyakan bersufat dunamis, yang mengungkapkan gerakan dan perjuangan. Ketika orang Arab meninggalkan semenanjung Arabia setelah kematian Muhammad pada awal mula Jihad mereka, mereka masih semi-barbar. Seratus tagun kemudian, mereka menjadi kekuatan dunia dan berhasik menciptakan kebudayaan baru dengan kekuatan dan keindahan besar. Islam, dalam pengertian tertentu, adalah agama sinkretis: Islam dibangun di atas dua agama yang lebih tua, Yahudi dan Kristen, serta menggabungkan mereka dengan tradisi Arab. Sebuah bukti nilai adaptasi yang luar biasa dalam Islam.




20 September 2006, disadur dari Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Imapct on Today’s World, Anchor Books, NY, 2001.

Semiotika = Teori Kebohongan


Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti tanda. Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai “sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie)” Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics (1974) mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang memepelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat”. Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan. Tanda dan hubungan-hubungannya adalah kunci dari analisis semiotik. Dimana relasi tersebut kemudian memunculkan makna.


Semiotika sebagai ilmu mempunyai tiga fokus area pembelajaran, yaitu tanda, sistem yang mengaturnya, dan budaya dimana tanda tersebut berada. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi oleh indra. Umberto Eco menjelaskan lebih lanjut bahwa tanda adalah hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Hal ini berkaitan dengan definisinya tentang semiotika sebagai “teori kedustaan”. Tanda menurut Saussure terdiri atas dua unsur yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan penanda adalah aspek mental dari bahasa: gambaran mental, pikiran atau konsep. Secara bersamaan keduanya akan membuat suatu tanda Saussure menjelaskan bahwa terdapat enam prinsip dasar dalam semiotika. Pertama, prinsip struktural. Tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu ang bersifat material dan konseptual. Yang menjadi fokus penelitian adalah relasi antara unsur-unsur tersebut, karena dari relasi tersebut akan menghasilkan makna. Kedua, prinsip kesatuan. Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkrit atau material dengan bidang petanda. Ketiga, prinsip konvensional. Realsi antara penanda dan petanda sangat tergantung pada apa yang disebut konvensi, yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Keempat, prinsip sinkronik. Tanda dipandang sebagai sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil dan tidak berubah. Kelima, prinsip representasi. Tanda merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan atau referensinya. Keenam, prinsip kontinuitas. Relasi antara sistem tanda dan penggunanya secara sosial dipandang sebagaia sebuah continuum, mengacu pada struktur yang tidak pernah berubah.
Menurut Saussure tanda memiliki tiga wajah yaitu tanda itu sendiri (sign), aspek material (suara, huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material (signifier), dan aspek mental atau konseptual yang dibentuk oleh aspek materil (signified). Hal terpenting yang dilakukan dalam melakukan analisis tentang tanda adalah mengetahui mana aspek material dan aspek mental dari sebuah tanda; karena tanda itu sendiri merupakan kesatuan antara signifier dan signified. Hubungan antara signifier dan signified disebut sebagai signification. Dijelaskan lebih lanjut oleh Sunardi bahwa dalam analisis semiotika yang dicari adalah berbagai hubungan yang menyatukan antara signifieds (jamak) dan signifiers dari berbagai unsur obyek tersebut. Hubungan antara signifieds dan signifiers kemudian akan menghasilkan makna. Dalam sistem tanda, Saussure menjelaskan bahwa suatu tanda akan dapat menghasilkan makna karena adanya prinsip perbedaan atau sistem hubungan antara tanda.
Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa terdapat tiga macam hubungan tanda yaitu hubungan simbolik, hubungan paradigmatik dan hubungan sintagmatik. Hubungan simbolik adalah hubungan tanda dengan dirinya sendiri (internal), hubungan paradigmatik adalah adalah hubungan tanda dengan tanda laindari satu sistem atau kelas, dan hubungan sintagmatik adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari satu struktur. Kedua jenis hubungan yang terakhir disebut kemudian disebut sebagai hubungan eksternal. Ketiga jenis hubungan tanda ini kemudian dijelaskan oleh Roland Barthes (penganut Saussureian) melalui gagasannya tentang dua tatanan pertandaan.
Tataran pertandaan pertama digambarkan dalam relasi di dalam tanda; antara signifier dan signified, atau yang Saussure sebut sebagai hubungan simbolik, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal; Barthes menyebutnya sebagai denotasi. Pada tataran pertandaan yang kedua, tanda kemudian berinteraksi dengan perasaan atau emosi penggunanya serta nilai-nilai kultural dimana tanda dan penggunanya berada. Barthes menyebutnya sebagai konotasi. Karena dipengaruhi oleh nilai kultural maka konotasi sebuah tanda akan berbeda dalam berbagai masyarakat. Hal ini membuat tanda bersifat arbiter dan spesifik pada kultur tertentu. Konotasi bekerja dalam level subyektif dan oleh sebab itu seringkali nilai konotatif dibaca sebagai fakta denotatif. Tujuan analisis semiotika adalah memberi metode analisis dan kerangka pikir untuk menjaga kita dari kesalahan membaca seperti itu. Cara kedua bekerjanya tanda dalam tatanan pertandaan kedua adalah melalui mitos.
Mitos berasal dari bahasa Yunani mutos yang berarti cerita; cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak memiliki kebenaran historis. Namun cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar manusia dapat memhami lingkungan dan dirinya. Roalnd Barthes menyebut mitos sebagai cara berbicara yang baru (a new type of speech). Dalam sistem pertandaan yang diberikan oleh Barthes, mitos merupakan salah satu sistem semiotik tingkat dua.
Teori mitos dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa (budaya media). Sebagai sistrem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu; signifier, signified dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu form, concept dan signification. Mitos mengambil sistem semiotik tingkat pertama sebagai landasannya sehingga mitos merupakan sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik.


Reading Urban Sureal Photography - Lost




Membaca foto yang ditawarkan oleh Maria Kartika dengan judul 'Lost' pada sebuah diskusi di forum street photography fotografer.net, menjadi hal yang sangat mengasyikan sekaligus menjadi tantangan tersendiri. Dalam beberapa hal, kode-kode dalam foto tersebut tidak sepenuhnya familiar dengan saya, bahkan hanya bisa saya temukan dalam bentuk analogon; dalam foto Lost tersebut. Saya menggunakan semiotika Barthes untuk memeriksa 'system of significationnya' dan kemudian mencoba menggunakan 'teori mitos' Barthes untuk memeriksa mitos-mitos yang terkandung dalam foto tersebut. Kemudian merumuskanya kembali ke dalam pandangan 'urban surealism' serta memeriksa ulang anti-tesis yang ditawarkan oleh Alva Sondakh.
Pemaknaan ini saya buat supaya 'seolah-olah' ilmiah saja ... jadi bukanlah sebuah 'sang real' yang kesahihannya tidak bisa diperdebatkan bahkan dibantah... who am I anyway?

Realisme relatif - makna denotatif sebuah foto adalah analogon:
Apa yang menjadi realisme relatif dalam foto ini?? 'foto wanita yang sedang menunjuk pada sebuah titik di sebuah bentuk/gambar dan seorang pria yang memperhatikannya (wanita tadi) dengan background sebuah bus 'dua lantai' dengan tulisan 'Lost? You Are Here' dan sebuah kendaraan lain didepanya yang berukuran lebih kecil darinya dan keduanya berada di depan sebuah gedung yang terletak di seberang jalan dari sisi si wanita dan pria serta tiang dengan gambar garis2 tadi yang secara keseluruhan mengatakan bahwa wanita dalm foto ini tersesat di sebuah sudut kota'
Pertama-tama saya mencoba menemukan satuan-satuan dalam foto tersebut (tahap studium).

  1. seorang wanita mengenakan jaket dan di bahu kirinya tergantung tas, memandang pada bagian kana atas frame, tangan kanan menunjuk pada;
  2. sebuah tiang, dengan gambar bergaris dengan beberapa tulisan yang susah untuk dibaca oleh saya karena ukurannya yang kecil yang saya asumsikan sebagai sebuah peta; peta dari jalan dan rute, tepat di atasnya terdapat beberapa logo dan tulisan yang melekat pada sebuah tiang bundar. Dan di sisi lainnya terdapat juga sebuah benda kotak berwarna hitam.
  3. seorang pria yang berdiri di sebelah kiri frame dan memandang ke arah wanita tadi
  4. sebuah tulisan Lost? You are here pada background yang tertera pada sebuah bus dua lantai, yang entah sedang berhenti atau bergerak lambat, dan sebuah kendaran yang lebih kecil ukurannya. Pada bisa dengan tulisan 'Lost? You are here', saya menemukan image penumpang pada lantai atas di beberapa deret dari bagian ujung bis serta di bagian paling kanan. di sebelah kanan tulisan Lost? You are here, terdapat sebuah gambar kotak berwarna putih yang di tengahnya terdapat titik hitam serta di sebelah kananya terdapat beberapa gambar (logo).
  5. jalanan yang lenggang (apakah ini jalur satu arah atau dua arah saya tidak pasti) namun yang cukup lebar, perkiraan saya jalan ini merupakan jalan yang terdiri lebih dari dua jalur, lihat oleh dimensi yang diciptakan dari 2 orang tadi dengan kendaraan di seberang serta marka jalan yang membagi badan jalan (aspal) tersebut.
Pada tahap ini pembacaan saya terhadap foto tersebut bergerak dari 'kode-kode' yang disebutkan di atas 'foto ini tentang seorang wanita yang tersesat, yang mencoba memastikan lokasinya saat ini (saat difoto), tulisan Lost? You are here menjadi elemen pemanis namun memiliki peranan yang cukup penting karena menegaskan gesture si wanita. kata 'here' ditunjuk oleh sebuah titik pada bidang putih disebelah kanannya. saya tidak akan memperdebatkan soal bis tersebut, karena bis tersebut hanya menegaskan bahwa lokasinya adalah jalan yang sudah ditegaskan oleh aspal yang ada dengan markanya.

disini 'urban' hanya dipahami sebagai tempat, setting, lokasi... urban hanya dipahami dalam pembacaan bahwa ia adalah tempat dimana transportasi menjadi hal yang diatur dengan baik, dengan jalur jalan yang memungkinkan kemacetan menjadi minim, dengan informasi tentang transportasi yang tersedia dan bisa diakses dengan mudah oleh siapa saja... di sini urban hanya menjadi tempat dimana ada gedung bertingkat dan bis bertingkat yang menunjukan bahwa teknologi dan transportasi telah maju dan berkemabng baik bahkan ditangani dengan baik sehingga tidak tampak kemacetan ..

apakah saya akan hanya berhenti di sini, tidak !! the author still alive, namun sekarat. saya tidak akan berhenti disana. pembacaan saya tidak hanya pada level 'meraba-raba' kode-kode yang kelihatan, kasat mata (studium), namun lebih jauh.
Saya berhenti pada sebuah titik, yang mana 'impressed me' ... titik dimana saya menemukan kenyataan bahwa dua manusia yang ada dalam foto ini adalah pria dan wanita dewasa dan lebih lagi pada soal jarak antara keduanya. Dengan hanya memberikan juxtaposition yang terdapat di foto tersebut dan kemudian berkonklusi bahwa inilah 'mimpi' inilah hal yang sureal, tumpang tindih juxtaposition yang saling berhubungan ini hanya bisa terdapat dalam mimpi. Sayangnya bagi saya ini belum surreal, coba tengok lagi konsep Henri Cartier -Brenson soal decisive moment, moment yang dibekukan oleh fotografernya. (sekali lagi disini saya masih menahan diri untuk berkonklusi..)

Kembali pada titik 'pucti' tadi, yang 'mengesankan saya'- bagi saya inilah URBAN yang tidak hanya sebagai setting dalam foto ini. inilah sifat kota, ciri kota. ciri yang dibangun dengan sikap individualistik, pemujaan terhadap waktu (dalam konsep kapitalis waktu adalah uang, waktu adalah kapital) sehingga menolong atau membantu seseorang adalah kegiatan yang merugikan. sikap indivisualistik yang dalam ini digambarkan dengan jarak antara keduanya, gesture si pria yang hanya memperhatikan si wanita dengan tatapan datar, tatapan yang dibuat saat memperhatikan tingkah laku pada seorang yang tidak dikenal. kemudian anda mungkin akan berargumen.. ah bisa saja mereka sudah saling kenal, atau bisa jadi mereka sudah 'intim'... nope! sayang sekali saya tidak akan setuju dengan argumen ini, jika benar keduanya telah saling kenal; memiliki hubungan yang intim, tentu saja gesture si pria tidak 'datar' demikian. tentu ia akan ikut 'merasakan' apa yang dialami oleh si wanita, menyelidiki apa yang terjadi. but hal ini tidak ditunjukan dalam foto tersebut, she´s just a passer by, he just a man who waited for a transportation. Untuk ini kembali kita berterima kasih pada 'si perusak suasana', Sigmund Freud. Psikoanalisisnya memang kemudian menjadi telaah yang sangat membantu dalam berbagai cabang ilmu, sebut saja komunikasi. Verbal communication juga mempelajari gesture, mimik bahkan sampai ke hal kecil seperti melirik atau berkeringat yang menjadi 'message' yang dikirimkan bagi receivernya (ingat kembali konsep ego, super-ego dan id yang ditawarkan Freud). Hal lainnya yang dopelajari dalam komunikasi verbal adalah soal jarak antara satu manusia dengan manusia yang lain. Kita cenderung menciptakan 'ruang antara' kita dengan orang lain yang berada di sekitar kita, atau bahkan yang sedang bercakap-cakap dengan kita. Seberapa lebar ruang antara yang diciptakan tidak hanya menunjukan posisi kita tapi lebih pada upaya 'alam bawah sadar' untuk memproteksi diri, membuat kita nyaman. Studi gerak dan mimik ini memang sangat kompleks dan rumit, karena akan melibatkan tidak hanya satu disiplin ilmu saja (psikologi) namun bisa membutuhkan kajian komunikasi, biology, antropology hingga semiotika.

Jika ingin (pura-pura) lebih kritis lagi dalam memaknai urban yang sebagai keadaan, subyek utama dari foto ini saya akan bergerak ke pembacaan lebih lanjut; dengan menggunakan teori MITOS...
Mitos adalah cara berbicara yang baru. mitos adalah kritik ideologi yang dikembangkan Roland Barthes melalui (kritik) budaya yang berkembang, seperti fotografi. Mitos adalah sistem semiotik tingkat II yang dijabarkan dalam Form, Concept dan Signification. kembali ke foto 'lost' tadi... apa yang menjadi mitos dalam foto tersebut? kehidupan perkotaan yang individualistik, yang selalu mengutamakan kepentingan sendiri, sehingga jika kau mendapat masalah kau harus menyelesaikannya sendiri, tidak ada orang lain yang akan membantumu. you are on your own (catatan: sampai titik ini saya membaca foto tadi BUKAN lagi sebagai foto wanita yang tersesat di sebuah wilayah urban, ia hanya menjadi landasan dari mitos, semiotika tingkat II). patut dicatat lagi, konsep urban adalah konsep kapitalistik yang ditunjukan dengan ciri-ciri tadi. Menurut saya foto 'lost' tidak berbicara mengenai keadaan tesesat di kota, dimana informasi mengambang dimana saja dan akses agar tidak tersesat bisa dijangkau oleh semua orang. Bagi saya foto ini berbicara tentang produk kapitalistik yang ditujukan dalam budaya masyarakat yang individualistik. Diperparah lagi dengan berkembang suburnya 'feminisme' (yang hanya bisa dilihat di wilayah metropolitan khususnya wilayah Eropa tengah dan Amerika Serikat). Bentuk praktis dari paham feminimisme adalah penolakan terhadap dominasi kaum pria (marxis). Meminta tolong pada kaum pria adalah sebuah tindakan 'menyerahkan diri' untuk didominasi oleh pria apalagi ditolong oleh pria, hal ini adalah bentuk penjajahan. Bagi kaum pria yang feminis, menawarkan bantuan adalah soal mendominasi (masih konsep Marxis), tindakan melecehkan dan meremehkan kemampuan wanita. Terma 'ladies first' sangat ditentang oleh kaum feminis. Sekali lagi konsep urban disini bukan hanya sebagai seting saja, tempat dimana tumbuh subur-nya budaya individualistik, tapi justru sebagai aktor utama, urban ditunjuk oleh sikap individualistik tadi. Sikap yang membuat kita menjadi jauh dari manusia yang lain, paham homo socius ditanggalkan, karena saya ada untuk diri saya sendiri bukan untuk orang lain karena saya adalah homo sapiens. Quia nominor ego leo (dalam bahasa Aesop).
Buat apa saya menolong orang lain yang tidak saya kenal kalau hanya menghabiskan waktu saya, waktu adalah uang. dan saya bekerja umtuk itu, saya tidak ingin kehilangan pekerjaan hanya karena terlambat 25 menit untuk menolong orang yang sama sekali baru saya jumpai. Saya tidak mau berkorban untuk itu ... mind your own bussiness, welcome to the 'jungle'...
Inilah kehidupan kota, inilah orang kota. inilah mitos yang ada dalam foto tersebut. Sebagai contoh; Tidak salah jika teman kuliah saya berkata 'lu nanya alamat di jakarta sama aja bunuh diri, belon lagi dikibulin ada juga lu dirampok' ... sebegeitunyakah kehidupan kota Jakarta??

Urban Surealism - urban yang sureal (sebuah gerak menuju konklusi)
Seperti yang disebutkan di awal... surealis adalah gerakan untuk membawa kembali kekuatan pikiran pada fungsi-(semesti)-nya, yakni imajinasi.
Apa yang sureal dari foto tersebut?? Apakah Foto (dicatat pula bahwa saya maksudkan dengan foto adalah analogon, representasi) tersebut adalah foto sureall?? Tidak menurut saya. Disana tidak ada obyek yang dream like, sesuatu yang tidak logis. Sesuatu bahkan keadaan yang 'mempermainkan' imajinasi saya selain hanya sebagai sebuah 'representasi' yang berupa teks yang dapat saya baca melalui strukturalis Barthesian ...
Ambigukah saya?? Tidak.. mari kita periksa lagi dengan decisive moment ala Henri Cartier Brenson. Disini saya akan memakai sudut pandang sang fotografer. ''Saya menunggu moment, saya menunggu waktu yang tepat untuk memencet shutter, menunggu tangan si wanita menunjuk ke gambar, mencondongkan badan dan kebingungan, saat yang sama si pria melirik ke si wanita, dan sebuah tulisan (bis) tadi berada di tengah, diantara pria dan wanita tadi. saat itu terjadi saya ingin membekukannya, inilah moment menentukan saya. Saya sudah merencanakan semua itu di kepala saya, bahkan sehari atau seminggu sebelumnya saya pernah kesini mengevaluasi tempat ini, mengevaluasi setiap bis yang lewat, orang yang lewat, tulisan dan gambar-gambar yang ada di sekitar, bahkan ini jalur yang saya lewati setiap harinya saat berangkat ke studio foto saya yang mulai tergusur oleh era digital, rute pulang saya ketika saya menunggu bis jurusan rute 69 dan bertemu dengan fotografer wanita cantik membuat saya terus mengokang canonet saya ... atau bisa jadi foto ini diambil saat evaluasi berlangsung. kapanpun moment tersebut dibekukan, itu adalah setingan dalam kepala saya. Saya menentukan kapan harus memencet shutter dan bagaimana mengkomposisinya'

Pertanyaan saya: apakah foto tersebut foto urban yang sureal??
Pembacaan saya pada tingkat Studium: urban hanya sebagai setting ...
Pembacaan saya pada tingkat puctum dan dengan menggunakan Mitos: urban menjadi aktor utama ...

Ingatlah bahwa pembacaan saya adalah pembacaan terhadap foto yang sama, dan saya menegaskan bahwa saya menolak pembacaan saya hanya pada tahap studium dan juga puctum. Saya membacanya sebagai sebuah mitos ...
yang kemudian menjawab Pak Alva Sondakh dalam antitesisnya (fotografer.net forum diskusi - konsep dan tema) ´di foto ini saya katakan URBAN telah menjadi tokoh utama, subyek, tidak lagi dimaknai sebagai sebuah seting atau sebuah lokasi terjadinya peristiwa, scene....

Apakah foto ini adalah foto tentang URBAN yang SUREAL??
Saya tidak melihat adanya unsur sureal dari pembacaan saya terhadap foto tersebut. Yang saya temukan adalah foto tersebut berhasil menghadirkan urban sebagai subyek, namun bukan urban yang surealis... Tidak ada yang tak-logis dalam foto tersebut. bahkan dalam pembacaan saya, foto tersebut logis-logis saja. Ini adalah 'keadaan' yang bisa ditemukan di wilayah urban yang dipenuhi dengan cirinya. Inilah ciri kehidupan kota, wajar demikian sebab ia adalah kota. Tidak ada yang tidak logis dari menjadi individual di kota (urban) apalagi metropolis. bahkan wanita tersesatpun hadirnya logis saja, tiap hari ada yang hidup dan mati apalagi tersesat (saya sendiripun hampir menjadi makluk sesat pikir). Wajar saja hal-hal tersebut, tidak menggugah imajinasi saya. Menurut saya foto ini lebih tepat sebagai foto yang decisive, bukan sebuah foto yang surealis apalagi urban surealis, sebuah street photo yang indah dan jika boleh saya katakan foto ini adalah sebuah 'kritik sosial yang paling merdu'... inilah kekuatan baru fotografi yang terus dikembangkan, sebuah kritik dan penggerak !!
Apakah tidak ada yang namanya urban surealis photography??
Jika foto dipahami sebagai sebuah analogon, nampaknya representasi dari urban yang surealis mungkin saja ada, bahkan dalam bentuk foto. Cuma sayang saya belum menemukan contoh foto yang tepat.

ps: sumber dari bebebrapa file catatan kuliah dan beberapa buku pinjaman perpus kampus yang makin mahal dendanya, serta beberapa website yang makin banyak bug dan trojannya (sekali lagi agar pura-pura ilmiah)

Afghanistan: Menelusuri Negeri Mimpi Agustinus Wibowo


Seorang pemuda terbangun dari tidur oleh mimpi yang sama seperti malam kemarin. Mimpi tentang sebuah lokasi di negeri yang ribuan kilometer jauhnya dari negeri asalnya, yang harus didatanginya. Ia menghadap sang ayah dan berkata “aku ingin melakukan perjalanan, memenuhi pencarian-ku”. Ia meninggalkan sekolahnya, koleganya, makanan rumah yang tersedia setiap saat di meja makan, meninggalkan keluarganya, kampung halamanya dan melakukan perjalanan untuk menemukan jawaban dari mimpinya. Walau dengan modal finansial yang minim dan segala resiko yang akan menerjang di hadapanya. Banyak kisah mewarnai perjalananya menyusuri negeri-negeri asing yang membawanya ke tempat tujuan. Pertemuan dengan budaya dan orang asing, mempelajari bahasa asing, kehabisan uang, dirampok, menjadi pengembala demi kelangsungan hidup dan banyak lagi kisah yang sudah menghiasi pencarianya. Semua pengalaman pahit-manis itu membuat pemuda tersebut menjadi seorang yang kaya; kaya akan pelajaran tentang siapa dirinya dan apa makna pencarianya; mimpinya. Pemuda itu bernama Santiago, tokoh fiktif karya Paulo Cuelho dalam salah satu novel yang menjadi teman favorit bagi kebanyakan “backpack-traveler” di seluruh penjuru bumi ini – The Alchemist. Sama halnya dengan Santiago, Agustinus Wibowo adalah seorang pemuda yang mengalami mimpi yang sama, mimpi tentang sebuah negeri yang berada ribuan kilometer dari kasur nyamanya. Bedanya, Santiago bermimpi akan Piramida di Mesir, Agustinus Wibowo memimpikan Afghanistan, lengkap dengan bisikan lembut gadis eksotis bercadar biru. “ini adalah perjalanan yang dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi untuk menyingkap rahasia negeri Afghan. Mimpi yang membawa saya berjalan ribuan kilometer untuk menemukan rohnya, menikmati kecantikannya, merasakan air mata yang membasahi pipinya…,” tulis Agustinus Wibowo dalam notas de vianje(1)-nya.

© Agustinus Wibowo

Dan Cephas Photo Forum sangat beruntung bisa menikmati kisah perjalanan Agustinus Wibowo pada Jumat malam, 6 Mei 2011 di Multiculture Campus Realino Yogyakarta. Kisah perjalanan seorang pemuda luar biasa, yang ditampilkan dengan karya fotografi lengkap dengan cerita pahit-manisnya, membuat peserta diskusi berkelana liar kedalam ‘negeri mimpi’ sang pencerita. Mimpi tentang Afghanistan, Pakistan, Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan… Mimpi-mimpi Agustinus Wibowo telah menjelma dalam bentuk buku: Selimut Debu dan Garis Batas yang ditulis dengan indah(2). Dan saya merasa sangat terhormat untuk bisa menuangkan ‘tafsir mimpi Afghanistan’ milik seorang ‘backpacker’ yang humble ini, seorang yang telah menginspirasi ribuan pengelana dalam negeri dengan mimpi-mimpi yang sudah ditulisnya pada sebuah media nasional.

Bagi Sigmund Freud, mimpi adalah akumulasi hasrat bawah sadar yang hadir disaat seorang tertidur. Dalam mimpi, seseorang bisa menjadi apapun, berada dimanapun, melakukan apapun semena hati(3). Dalam mimpi, konteks ruang dan waktu yang menjadi satu-satunya pembatas ragawi, serta merta luruh. Dan dalam mimpi, seorang manusia menjadi seutuhnya bebas. Saat sebuah mimpi berakhir, kita akan kembali ke alam sadar dan terkadang, jika sebuah mimpi terlalu indah, rasanya tidak ingin terjaga sama sekali. Bagaimana jika mimpi indah itu menjadi kenyataan, begitu indahnya hingga kita sendiri tidak percaya dan mencoba berteriak – siapa saja tolong bangunkan saya!. Mungkin ini adalah apa yang dirasakan oleh Agustinus Wibowo  pada Juli 2003, hingga ia menepuk-nepuk pipinya, meyakinkan pada dirinya sendiri dalam sebuah ‘falang coach’: Ini bukan mimpi. Saya sudah berada di Afghanistan! Bahkan pada tahun 2006, Agustinus Wibowo kembali ‘pulang’ ke Afghanistan dan menetap selama tiga tahun disana, bekerja sebagai seorang fotojurnalis untuk media Afghanistan. Bisikan roh Afghanistan sepertinya masih menghantui Agustinus Wibowo, walau sadar bahwa Afghanistan di tahun 2006 akan sangat berbeda dengan Afghanistan di tahun 2003. Hal itu lantas tidak menghentikan langkah kakinya, melewati pintu perbatasan dan masuk wilayah Afghanistan, untuk kembali berselimut debu.

© Agustinus Wibowo

Afghanistan?!!. Ketika mendengar kata Afghanistan, kognisi saya secara otomatis menghadirkan ratusan imaji penuh darah(4). Pria dengan AK47, bekas peluru di dinding, RPG, bangkai tank, bangkai helikopter, bom mobil, paket bom, amputasi, janda, gelandangan, perempuan korban kekerasan rumah tangga, anak-anak dalam keadaan kritis dan masih banyak lagi imaji-imaji yang bernuansa suram yang koheren dengan kata ‘afghanistan’. Agustinus Wibowo mengakui hal yang sama, ketika pertama kali mendengar dan bahkan saat pertama kali menginjakan kaki di negeri Afghanistan. “Impresi saya tidak jauh berbeda dengan teman-teman tentang Afghanistan”, ungkapnya. “Dan kebanyakan fotografer yang baru pertama kali tiba di Afghanistan akan memotret hal yang serupa”, Agustinus Wibowo berujar lebih lanjut. Hal ini tidaklah serta merta menjadikan kita sebagai seorang yang stereotipikal-negatif. Karena menurut saya (penulis-red), ini adalah ketidakberdayaan kita sebagai konsumen media massa yang dengan kekuatannya telah berhasil membentuk “kerangka real” tentang ‘gambaran dunia’. Film, pemberitaan surat kabar, televisi, konten visual, audio visual yang dibingkai oleh media massa memiliki peran besar dalam hal ini, menciptakan ‘impresi’ kita pada Afghanistan dan ‘negara-negara konflik’ lainya. Agustinus Wibowo kemudian menyajikan serangkaian foto-foto yang diambilnya ketika pertama kali bersentuhan dengan Afghanistan. Dan memang benar adanya, seolah-olah menguatkan referen dalam kognisi saya sebagai orang yang belum pernah menginjakan kaki ke Afghanistan, yang hanya mengenal Afghanistan melalui media massa, imaji-imaji ‘suram’ itu muncul di layar proyektor. Korban ranjau darat dengan hanya satu kaki yang utuh, gelandangan yang pulas ditengah keramaian, wajah-wajah lesu tanpa harapan dan segala jenis ekspresi yang dihasilkan oleh sebuah kata: “perang”. Inilah Afghanistan yang selama ini saya kenal, inilah wajah sebuah negeri yang dijajah, diporakporandakan oleh kekuatan asing, inilah wajah sebuah negeri yang bergeliat dalam konflik berkepanjangan, inilah hidup keras suku nomaden yang conservative, primitive dan irrational.
Sambutan pertama yang diterimanya di negeri Afghanistan adalah debu. “Begitu saya menginjakan kaki di Afghanistan, yang langsung menyeruak kedalam mulut saya, kedalam gigi saya (rongga mulut, red), kedalam telinga adalah debu. bahkan orang Afghanistan sendiri mengatakan bahwa debu adalah makanan sehari-hari” kenang Agustinus Wibowo. Lebih lanjut lagi Agustinus Wibowo memaparkan “debu memiliki makna yang amat dalam bagi bangsa Afghanistan, debu adalah tanah, sejarah, masa lalu, kebanggaan, dan masa depan mereka, karena dalam debu itulah mereka akan menemui penciptanya suatu saat nanti”. Berangkat dari pengamatanya akan makna filosofis bangsa Afghan terhadap debu, Agustinus Wibowo kemudian merumuskan judul buku yang dikerjakanya “Selimut Debu”. Disini, Agustinus Wibowo melihat bahwa debu adalah representasi dari kemiskinan, perang dan segala hal yang suram tentang bangsa Afghan. Dan kesan negeri dengan ‘selimut debu’ sangat terasa dalam slideshow foto yang dibuat ketika pertama kali bersentuhan langsung dengan Afghanistan.
Ada sebuah foto yang sangat attractive buat saya dari slide show ‘Selimut Debu’ yang ditampilkan oleh Agustinus Wibowo. Sebuah foto yang diambil di kota Kabul, sebuah frame yang merekam seorang lelaki Afghan, berjalan menyusuri jalanan berdebu sambil membawa balon berwarna warni yang sangat kontras dengan dengan lingkungan sekitar. Semua informasi, referen dalam benak saya akan “gambaran Afghanistan yang kacau balau” serentak hilang. Foto tersebut sangat sederhana, namun sangat menggugah “impresi saya-pictures in our head” tentang Afghanistan. Sebagai seorang fotografer, saya harus katakan bahwa untuk bisa menghasilkan karya seperti ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, membutuhkan lebih dari sekedar penguasaan teknik fotografis namun juga keberuntungan. Saya melihatnya dan bertanya pada diri sendiri: apa yang akan muncul di kepala saya ketika mendengar kata Afghanistan: imaji laki-laki Afghan membawa puluhan balon berwarna-warni menyusuri jalan berdebu, gersang dan sepi atau gambar seorang laki-laki Afghan menenteng AK 47 dengan sorot mata predator di depan reruntuhan gedung? Agustinus Wibowo berhasil menghadirkan pada saya sebuah drama kecil yang terjadi di Kabul, kota yang notabene cukup “chaotic”. Sebuah drama yang menyegarkan dahaga visual saya terhadap Afghanistan.
© Agustinus Wibowo

Saya kemudian menduga-duga, apakah ini ‘mimpi’ yang ingin dikejar oleh Agustinus Wibowo? Dugaan saya tidak meleset setelah melihat slide show ke dua yang ditampilkan beberapa saat kemudian oleh Agustinus Wibowo. “saya bertanya pada diri sendiri, apakah ada surga di Afghan?” ungkap Agustinus Wibowo. Berbekal arahan seorang backpacker asal Jepang, yang disebutnya mirip filfuf Konfusius, Agustinus Wibowo membulatkan tekad dalam hatinya untuk menjelajah daerah pegunungan dan perbukitan gersang, menyisir sungai-sungai dan kota-kota kecil untuk menemukan ‘firdaus keci’ yang tersembunyi itu. Dan seperti diseret kedalam dimensi lain, foto demi foto yang silih berganti tampil di layar putih itu menunjukan Afghanistan yang lain, dalam balutan warna yang indah, menghadirkan kekayaan peradaban Afghanistan yang luar biasa ditambah sorot mata penduduk Afghanistan yang menawan, yang terekam lewat lensa Agustinus Wibowo. Secara khusus Agustinus Wibowo mengungkapkan pula bahwa “sorot mata orang Afghan-lah” yang membuat dirinya semakin jatuh cinta dan larut dalam pencarian mimpinya akan Afghanistan. “Afghanistan adalah negara paling indah, paling fotogenik buat saya. Dan yang membuat saya jatuh cinta pada Afghanistan adalah tatap mata orang Afghanistan yang begitu tajam dan menyihir”. Perasaan yang sama saya dapatkan setelah melihat portraiture penduduk Afghan yang disajikan oleh Agustinus Wibowo, saya dan teman-teman lainya tersihir oleh sorot mata orang Afghanistan yang menawan, menyiratkan misteri yang tersembunyi dari ‘khaak’ – jiwa Afghanistan. Kata orang mata adalah jendela jiwa, dan saya percaya itu. Saya teringat pada kisah Steve McCurry, seorang fotografer National Geographic yang menghabiskan 17 tahun untuk menemukan ‘Gadis Afghan’ yang dipotretnya pada tahun 1985. Saya semakin yakin dengan dahsyatnya daya magis tatapan mata orang Afghan yang dirasakan oleh Agustinus Wibowo, dan saya yakin Steve McCurry juga tersihir oleh pesona yang sama. Apalagi setelah slide show foto-foto dari bagian Utara Afghanistan diperlihatkan di layar proyektor, menampilkan gambar-gambar pemandangan alam yang penuh warna cerah, wajah-wajah dihiasi senyum ramah, keunikan budaya Afghan yang kaya dan banyak lagi dimensi kehidupan bangsa Afghan yang mengundang rasa kagum.

© Agustinus Wibowo

Agustinus Wibowo menemukan kepingan kecil dari surga yang dicarinya disana, lengkap dengan pria berotot bak Ade Rai, senyum manis perempuan Afghan, ladang gandum menghijau, pesta rakyat serta puluhan imaji lainya yang merepresentasikan ‘kebanggaan sebagai bangsa Afghan’. Seolah-olah ingin berujar “inilah Afghanistan-ku”, inilah mimpiku; Agustinus Wibowo memaparkan nilai-nilai unik kebudayaan bangsa Afghan, tentang bagaimana upacara pernikahan, kebiasaan kaum pria di waktu luang, kebiasaan kaum wanita untuk memanjakan diri, keramahan penduduk utara Afghanistan, kekayaan norma sosial, bahasa dan hal-hal menarik lainya yang mana jauh dari kata “perang” dengan segala atribusinya; dibalik tampilan foto-foto yang tersaji. Agustinus Wibowo memberikan pada kita Afghanistan yang ‘dimimpikanya’ melalui foto-foto yang manampilkan penggalan drama keseharian bangsa Afghanistan yang tidak melulu tragedi. Banal, seperti yang beredar di mass media khususnya media pemberitaan (yang seolah-olah) jurnalistik, yang bersembunyi dalam selimut “news worthy” dengan tag line besar “bad news is good news“. Belum lagi agenda pembingkaian editorial dengan segala kamuflase ideologi yang terkandung didalamnya.  Well, bad news is good money in the end
Bagaimana Agustinus Wibowo melakukan hal ini, menangkap dan menghadirkan Afghanistan yang ‘lain’ , yang jauh dari tragedi dan debu pada kita? Mengungkap dinamisnya nilai-nilai sosial dan praktek kemasyarakatan Afghanistan seperti layaknya seorang Afghan? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya merasa perlu untuk menelusuri pribadi sang ‘traveler’ ini. Dan dari sharingnya saya sedikit mengetahui visinya akan traveling. “saat kita sampai pada titik dimana ego dan identitas kita melebur; kita bukan siapa-siapa lagi. itulah filosofi seutuhnya dari travelling”, Agustinus Wibowo menambahkan juga “hal yang menarik dari backpacking adalah kesempatan kita berinteraksi dengan penduduk lokal lebih banyak. dengan backpacking kita benar-benar (dituntut untuk-red) tanggungjawab terhadap diri sendiri dan kita benar-benar berinteraksi”, tidak melihat dunia dari balik kaca seperti kebanyakan paket wisata. Baginya, jumlah stempel imigrasi bukan hal yang penting, yang terpenting adalah apa yang bisa dipelajari dari interaksi dengan penduduknya bahkan pada pengalaman yang tidak mengenakan sekalipun. Karena kita masih bisa mempelajari makna dari hal-hal buruk yang menimpa untuk memperkaya pemahaman kita akan kehidupan. Dan menurut saya, Agustinus Wibowo adalah orang yang sangat positif dalam memaknai segala macam kejadian dalam kehidupan ini. Ini tersirat secara implisit dari cerita Agustinus Wibowo ketika dalam dua hari berturut-turut mengalami perampokan di Mongolia atau lebih buruk lagi, dikeroyok polisi Afghanistan hanya karena dicurigai sebagai teroris. Saya dengan mudah menangkap pribadi Agustinus Wibowo yang postif secara eksplisit dari foto-foto yang dihadirkanya, karena untuk bisa menghasilkan foto yang intim seperti yang dihasilkanya butuh keterbukaan dalam interaksinya dengan subyek, butuh rasa respect yang tinggi terhadap subyek. Garry Winogrand, street photographer Amerika pernah bertanya pada seorang temanya yang mengeluhkan hal-hal remeh ketika diajak ke Mexico“it sounds like you’re talking about your own comfort”- kenapa kita harus memikirkan kenyamanan dirimu sendiri?(5). Dengan memikirkan hal seperti itu, kita sudah membangun benteng pertahanan yang membuat kita akan enggan berinteraksi dengan masyarakat daerah asing yang kita datangi. Dan kita tidak akan mempelajari apapun. Agustinus Wibowo menghabiskan tiga tahun di Afghanistan, dan selama itu pula Agustinus Wibowo ‘melebur’ kedalam masyarakat Afghanistan. Mengamati dan mempelajari keunikan dan dinamika kehidupan bangsa Afghan, memperkaya kosa-kata verbal dan visualnya akan makna “khaak”, makna Afghanistan. Hasilnya adalah tulisan dan karya fotonya yang sangat mempesona.

© Agustinus Wibowo

© Agustinus Wibowo

Perlu kita ingat bahwa Agustinus Wibowo berangkat ke Afghanistan sebagai seorang ‘musafir’ yang kebetulan membawa kamera. Ini yang membedakan Agustinus Wibowo dengan fotografer yang melakukan penjelajahan ke negeri jauh lengkap dengan “baju zirah, pedang dan kuda putih”, laksana ‘crusaders with camera‘ seperti kata Susan Sontag. Hal dasar yang membedakanya adalah motif dari semangat “be there” milik Agustinus Wibowo dengan fotografer yang juga (pernah) ke Afghanistan. Kamera bagi Agustinus Wibowo adalah media rekam visual yang dimanfaankan sebagai ‘recall tool‘ – alat pengingat untuk hal-hal yang dijumpainya, sebagai bahan pelengkap catatan perjalananya (travel log, travel writings). Mari kita kenang John Thomson; seorang eksplorer asal Scotland, salah satu pionir photo documentary yang menjelajah dunia hingga ke tanah Singapura dan Jawa di tahun 1860an(6). Thomson mengemban misi suci documentary “to see, to record and to comment”, Agustinus Wibowo berkelana ke Afghanistan dengan sebuah misi: “menemukan roh” dari sebuah bangsa, merasakan atmosfir kehidupan masyarakatnya dan menemukan jati dirinya yang diperoleh hanya melalui interaksinya dengan warga Afghanistan yang dijumpainya; menemukan jawaban dari mimpinya dan menemukan arti perjalananya.“Saya hanya seorang musafir, yang mensyukuri dan mengagumi keindahan peradaban. Saya bersiap melangkah maju menuju zaman berbeda, hanya dengan menginjakan kaki di pintu gerbang negeri seberang. Sementara negeri Afghan tetap merayap dalam dimensi zamannya sendiri. Khaak, kebanggaan itu bukan sekedar bulir debu biasa yang beterbangan diterpa angin kering” _ Agustinus Wibowo, dalam kalimat penutup buku Selimut Debu.

Karolus Naga/Cephas Photo Forum

Agustinus Wibowo adalah seorang traveler, writer dan photographer. Penulis rubrik Petualang di  harian Kompas ini telah menerbitkan dua buku perjalanan: Selimut Debu dan Garis Batas. Karya fotografi Agustinus Wibowo dapat diakses di halaman website pribadinya http://avgustin.net/gallery.php

catatan kaki:
(1) Notas de Vianje = travel log, atau catatan perjalanan, diary. Ernesto Guevara mengambil istilah ini untuk judul buku perjalanannya menelusuri Amerika Selatan bersama seorang sahabatnya mengendarai sepeda motor, edisi bahasa Inggrisnya diterjemahkan sebagai “Bicycle Diary”
(2) Selimut Debu adalah buku karya Agustinus Wibowo yang berkisah tentang Afghanistan, sebuah negeri dimana masyarakatnya mempunyai pandangan menarik tentang ‘khaak’ atau debu, yang memiliki lebih bermakna filosofis. khaak bermakna ‘tanah air’ – kebanggaan negeri.  Sedangkan Garis Batas adalah buku karya Agustinus Wibowo yang mengisahkan dinamika kehidupan dalam negeri-negeri pecahan Uni Soviet. Garis Batas adalah pengamatan Agustinus Wibowo akan hal-hal yang memisahkan manusia dengan manusia lainya. Kedua buku ini diterbitkan oleh Penerbit Gramedia.
(3) Sigmund Freud dalam karyanya “Interpretation of Dreams” merumuskan bahwa dalam mimpi seseorang secara tak sadar berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang tujuan yang diinginkan, karena di alam nyata (sadar) sulit bagi kita untuk mengekspresikanya pada obyek-obyek yang menjadi sumber mimpi. Keinginan itu muncul dalam bentuk mimpi.
(4) Walter Lippmann menyebutnya sebagai ‘the pictures in our head’ – sebuah kondisi dimana referensi imaji dihadirkan oleh otak manusia ketika menerima stimulus akan sebuah obyek. kita memiliki sebuah gambaran tentang sesuatu obyek berdasarkan pengalaman indrawi, ketika “bersentuhan” baik langsung atau tidak langsung dengan obyek tersebut.
(5) Dalam BBC Knowledge, Genius of Photography.
(6) LIFE library of Photography, Documentary Photography, TIME LIFE Books, Netherlands 1971