Tuesday 11 December 2018

Kopi Flores Sokoria


Dibandingkan dengan tetangganya, kopi dari daerah pegunungan Kelimutu ‘tenggelam’ oleh pesona aroma dan cita rasa kopi yang dihasilkan daerah Manggarai dan Bajawa. Dua daerah yang telah lebih dahulu melanglang buana dari cangkir ke cangkir penikmat kopi di seluruh dunia.



Sokoria berada di wilayah pegunungan Kelimutu, berada di ketinggian 1200-1500 meter diatas permukaan laut yang membuatnya menjadi salah satu wilayah yang cocok bagi perkebunan kopi arabica. Sokoria dapat ditempuh melalui perjalanan darat dengan waktu tempuh 1,5 sampai 2 jam perjalanan menanjaki bukit dan pegunungan. Jalanan yang dilalui terbilang cukup mulus, namun kurang lebih 5 kilometer dari Sokoria, medan jalanan yang dilalui belum beraspal mulus, dan mulai menurun. dibutuhkan konsentrasi dan skil mengemudi atau mengendarai yang mumpuni. Sepanjang perjalanan tentu saja mata akan dimanjakan dengan pemandangan panorama yang cukup indah. berlayer-layer pegunungan menghiasi cakrawala sejauh mata memandang.

SEJARAH SINGKAT KOPI SOKORIA SERTA KULTIVASI KOPI SOKORIA


Merunut sejarah kopi di Sokoria, kita akan terbang ke masa kolonial. Tahun 1870 Pemerintah Hindia Belanda mulai menyebarkan bibit kopi ke daerah diluar Jawa seperti Bali, Sulawesi, Timor dan Flores; wilayah yang baru dibelinya dari Portugis pada 1851. Ada yang menyebutkan bahwa kopi di Flores dibawa dari Sulawesi dan sebagian mengatakan berasal dari Timor, dua pendapat yang bisa saja mungkin terjadi mengingat lokasi Flores yang berada diantara dua pulau ini dan juga jalur perdagangan yang terjalin antara Sulawesi dan Timor dengan Flores telah lama terjalin. 

Pada tahun 1876 sebuah wabah yang disebut ‘hemileia vastatrix’ kemudian menyapu bersih semua kopi yang telah ditanam oleh Hindia Belanda; yang adalah varietas typica. Namun beberapa kopi di daerah-daerah Timor dan Flores dilaporkan tidak mengalami dampak yang serius, konon kopi typica yang lebih dulu ditanam ini secara alamiah bersilangan dengan canephora yang dibawa setelahnya dan melahirkan satu varietas yang dinamai ‘juria’. Varietas yang hampir terdengar sebagai legenda. Pada awal 1900 satu varietas diperkenalkan di Timor yang diberi nama HDT; Hybrido de Timor yang kemudian ditanam di Flores dan Aceh. Varietas ini kemudian menjadi sangat disukai oleh petani Flores selain karena tahan terhadap perubahan iklim yang tidak menentu, tahan terhadap hama penyakit dan memiliki dahan yang kuat.

Adalah Frans Benge; seorang putra asli Sokoria yang memperkenalkan kopi bagi kampung halamanya pada tahun 1930 an. Beliau kemudian menyebarkan kopi ke daerah-daerah tetangga di wilayah pegunungan Kelimutu. 



Pada tahun 1986, Pemerintah Indonesia menggagas program penanaman kopi dan kakao di seluruh Indonesia.  Sejak saat itu varietas Lini S 795 atau yang disebut varietas unggul diperkenalkan ke masyarakat Flores termasuk Sokoria. Bibit kopi yang baru ini kemudian ditanam bersamaan dalam lahan yang sebelumnya telah ada kopi (HDT & canephora/robusta), cengkeh, kakao, kemiri dan tanaman lainya seperti mangga dan nangka. Pada awalnya petani sangat tidak menyukai kopi varietas baru  ini karena ukuran biji yang lebih kecil dari kopi yang sudah mereka tanam sebelumya. 

PANEN & PASCA PANEN


Kopi yang diproduksi di Sokoria kebanyakan diproses secara natural; dan sayangnya segala varietas kopi seringnya dicampur dalam satu batch pemrosesan. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya pola monokultur (single variety) di satu lahan, seperti yang telah disinggung sebelumnya. Varietas kopi yang baru ditanam bersamaan dengan kopi yang telah ada dan ketika panen, petani cenderung memetik secara bersamaan. Ada juga yang memprosesnya secara full washed namun tidak banyak. 


Dari total 70an hektar lahan kopi yang ada di Sokoria, dalam sekali panen jumlah cherry atau biji kopi yang berhasil dipetik hanya 30% saja. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya sumber daya manusia dan kondisi lahan perkebunannya sendiri. Petani di Sokoria rata-rata berusia diatas 40 tahun dan generasi mudanya lebih memilih untuk bekerja di sektor lain atau bahkan merantau ke kota lain seperti Kalimantan dan bahkan Malaysia.

Kondisi pohon kopi yang sejak ditanam di tahun 1986 belum pernah dipangkas atau diremajakan. Hal ini membuat pohon kopi tumbuh tidak terkendali mencapai tinggi 4 hingga 6 meter. Hal ini sangat berpengaruh dari segi efisiensi dan efektifitas waktu panen. Ketika ditanyakan kenapa pohon ini dibiarkan tumbuh seperti ini, kebanyakan petani memberikan jawaban yang bersumber pada rasa sentimen masa lampau. Bahwa pohon kopi ini ditanami oleh mendiang kakek-nenek mereka dan sangat tidak sopan untuk memangkas apalagi mengganti dengan bibit baru. Walau pohon tersebut telah menurun produktivitasnya. Hal lain yang cukup berpengaruh pada rendahnya produksi kopi di Sokoria dan Flores kebanyakan adalah bahwa petani-petani ini menghabiskan waktu yang lebih lama disaat pagi hari dan sore hari untuk mengolah hasil panen di hari kemarin. Akibatnya, waktu yang digunakan untuk memanen kopi hanya kurang dari 5 jam dengan pertimbangan jarak tempuh dari rumah ke kebun yang rata-rata memakan waktu sejam perjalanan pulang pergi. 




Disisi lain, biji kopi yang tidak dipanen kemudian menjadi makanan beberapa hewan nokturnal seperti luwak, kelelawar dan bahkan monyet di siang hari. Biji-biji kopi ini kemudian menjadi benih kopi yang tersebar hampir di sela-sela pohon utama. Bahkan di perkebunan yang jauh didalam hutan atau lokasi perkebunan tua kita tidak akan menjumpai ‘kebun kopi’ melainkan ‘hutan kopi’.




PENGEMBANGAN


Mengembangkan kopi Sokoria membutuhkan biaya, waktu dan sumber tenaga manusia yang besar. Hal ini disadari oleh Ferdianus Rega, seorang putra daerah yang kembali ke kampung halaman sejak 2014 silam dengan cita-cita besarnya; mengangkat kopi Sokoria ke dunia internasional. Beliau bersama-sama dengan petani kopi Sokoria lainya memprakarsai pembentukan Koperasi Tani Sokoria Daya Mandiri, sebuah wadah yang menampung lebih dari 47 petani kopi sokoria untuk bersama-sama mengembangkan potensi kopi Sokoria. 


Agenda pertama yang akan dilakukan adalah membangun Unit Pengolahan Hasil Kopi di Sokoria. Dengan adanya UPH ini diharapkan dapat mendongkrak jumlah cherry yang dipanen karena petani hanya akan fokus pada pemetikan saja, untuk pengolahanya akan diserahkan pada personel-personel UPH; kata bang Ferdi. Selain itu UPH ini akan menyerap anak muda Sokoria untuk kembali memanfaatkan lahan pertanian yang ada. Menurut bang Ferdi, kendala terbesar yang dihadapi saat ini adalah jumlah petani muda yang minim sekali. Sementara pemerintah telah memberikan bantuan dengan dana desa yang cukup untuk pengoperasian hasil bumi khususnya kopi, jumlah tenaga kerja khususnya anak muda setempat sangat rendah. Banyak yang enggan turun ke kebun, mungkin karena belum merasakan nikmatnya jadi petani imbuhnya. Ketika ditanyakan target jangka panjangnya, Ferdianus Rega berharap kopi Sokoria memiliki Indikasi Geografis, sebuah bentuk perlindungan dari pemerintah terhadap petani kopi. Dan hal ini butuh bantuan banyak pihak mulai dari petani hingga penikmat kopi dalam rantai industri specialty coffee, tambahnya. Semoga terlaksana. (KN/2017)