Saturday 1 May 2021

ROMI PERBAWA - AU LOIM FAIN

We hide in your shadows
You don't know our names
As we take you trays
And we don't seem to matter
With our straightened hair
And our vacant stare

We are clumsy, we are strange
We are jealous, we are plain
We're the shit
That stains your daisy chain
Oh but we'll be born again

And we drift like a landslide
With our almond eyes
Like a human tide
But yes we love our families
And our children too
Just like you do

The Tears, Song for Migrant Worker 


Oktober 2012

Mobil Avanza yang kami tumpangi meliuk perlahan menyusuri jalan berlubang pesisir utara Flores dari Bajawa menuju Maumere. Saya dan Mas Romi Perbawa pasrah pada pak supir yang sedari tadi menahan dahaga akan moke merah yang kami nikmati di bangku penumpang. Dilarang minum moke jika sedang mengemudi, kata saya. Dan syukurnya sang supir mengamini. Saya sesekali menggoda Mbak Lasti Kurnia & Jeje di mobil satunya; yang seolah tak kalah malasnya menapaki buruknya infrastruktur Pulau Bunga ini. 

Selama perjalanan Mas Romi berceritera tentang penemuan barunya; fotografi dokumenter, yang menurutnya menjadi jawaban atas pencarianya selama ini. 'gimana yo naga, aku ngerasa fotoku gini-gini aja' demikian ungkapnya yang bisa kuingat sebelum semuanya kabur. Tapi Mas Romi masih terus ngoceh seputar hal itu, tentang bagaimana  dirinya merasa jenuh dengan 'praktik fotografi' yang selama ini dia geluti. Bahkan Mas Romi ngoceh juga soal peristiwa jatuhnya seorang bocah penunggang kuda di depan matanya saat dia sedang 'hunting'. Benar kata om sopir, 'ini pengaruh aer kata-kata - bikin lancar omong' dengan logat khas Bajawa. Saking lancarnya, ketika memasuki wilayah Magepanda Kabupaten Sikka, botol ketiga sudah hampir setengahnya. Mas Romi lalu mengingatkan 'eh naga, bukanya itu jatahnya BO?!' .... waduh!! 

Topi Romi Perbawa by Karolus Naga, 2021

Sore itu saya mengamati proses editing dan sequencing karya Mas Romi di kamar sepintas lalu. Saya perhatikan raut wajah Mas Romi yang sangat serius dengan foto-fotonya. Setelah selesai, kami bergegas mengumpulkan materi dan saya langsung mencari kopi pahit untuk menghilangkan efek hangover dan capek perjalanan dari Bajawa menuju Maumere sehari sebelumnya. Belum sempat menegak kopi, saya kembali diajak 'berbagi' beberapa botol bersama para panitia dan supir. Rupanya benar kata orang, di Maumere moke adalah air perjamuan kudus. Tidak boleh dilewatkan. Pamali. 

Malam presentasipun tiba, satu persatu kami maju kedepan dan menceritakan tentang apa yang kami kerjakan. Mas Romi menampilkan foto-foto yang dikerjakanya; yang mengangkat kisah seorang anak bernama Arnoldus Rico asal Aimere, Kabupaten Ngada NTT yang dalam usia yang masih sangat belia sudah harus bekerja sebagai nelayan untuk bertahan hidup. Saat menceritakan soal perjuangan anak ini, Mas Romi berhenti di tengah ceritanya. Dia terdiam, namun kami bisa melihat dengan jelas mic di tanganya bergetar. Matanya berkaca dan basah, itu juga bisa kami lihat dengan jelas. Suaranya parau, melanjutkan ceritanya. 

Romi Perbawa menutup presentasi sembari mengusap air matanya dengan isak 'saya ingat anak saya'.

Romi Perbawa, Au Loim Fain hal 48-49, Yayasan Panna, 2021


April 2021

Au Loim Fain yang bersampul hitam elegan ini dibuka dengan foto jalan tikus di belantara antah berantah yang kemudian dilanjutkan dengan 3 sosok anak manusia yang menyusuri setapak rimba antah berantah (hal 6-9). Foto yang secara spontan menghidupkan imaji "walk to paradise garden" di kepala. Au Loim Fain adalah project foto Romi Perbawa yang dikumpulkan dan dijahit dengan metode Swiss Binding  yang berfokus pada 'anak-anak para pekerja migran dan pekerja anak'. Fokus cerita yang tidak asing bagi yang mengenal Romi Perbawa, sebab di tahun 2014 silam, Romi Perbawa menerbitkan buku foto tentang joki cilik yang bertitel 'Riders Of Destiny'. Jujur saja sulit bagi saya untuk tidak menyebutkan Riders of Destiny ketika membuka buku ini untuk pertama kalinya. Saya bahkan mencoba mengkomparasikan keduanya secara sederhana, secara kasat oleh mata saya.

"tiga perempat di antaranya merupakan pekerja berketerampilan rendah"

Petikan dari buku Au Loim Fain di atas (hal 11), secara implisit memberikan gambaran besar pada saya tentang subjek-subjek dari kamera Romi Perbawa. Terbesit gambaran mereka yang rentan akan eksploitasi. Voiceless crowd. Powerless dan hopeless. Kutipan tadi menjadi benang merah yang menjahit bermacam kompleksitas persoalan migrant worker yang dipecah kedalam chapter-chapter kecil yang ditemui oleh Romi Perbawa dan disajikan tanpa terikat pada sequence yang linear seperti karya klasik lainya. Hal yang membuat saya sangat menikmati buku ini adalah cara menceriterakan subjek-subjek  yang melompat maju dan mundur dengan bebasnya, tanpa taat hukum alur alpha omega. Ibarat menonton Babel yang dibikin dengan ciamik oleh Alejandro González Iñárritu 2006 silam

Dibandingkan dengan Riders of Destiny, Au Loim Fain terasa lebih kalem. Kontras tinggi tanpa gradasi yang disajikan lebih mirip blues sedangkan Riders of Destiny punya riff metal, rock & roll ala Led Zeppelin lengkap dengan grain & gradasi ala film-film Kodak TriX dan atau Ilford Delta. Pada Riders of Destiny, saya bisa melihat 'gramar fotografis' yang lebih tertata rapi. Saya menduga, pada Riders of Destiny, frame-frame yang dibuat dibikin dengan rileks walaupun temanya adalah pacuan; balapan. Saya melihat Riders of Destiny dibuat dalam atmosfir tamasya. Namun suaranya tetap garang; anak-anak ini bukan di atas arena pacu tempatnya!

Au Loim Fain di sisi lain adalah blues, ditampilkan dalam tempo yang lebih pelan. Dan sebagaimana blues pada umumnya; syair bernada balada~tragedi adalah jiwanya. Toh pengerjaanya memakan waktu yang lebih lama dibandingkan joki cilik. Memiliki ukuran yang mirip, buku ini seperti buku pertamanya lebih ditujukan untuk dinikmati di dalam ruangan, di atas meja, ditemani minuman "hangat" dan dengan alunan lagu ini. Di blog ini saya mencoba meminimalisir 'spoiler' untuk buku Romi Perbawa yang kedua ini, dan atas alasan kesenangan melompat kesana kemari, maka di bagian ini saya sengaja menuliskan impresi saya pada beberapa frame secara acak. Tulisan ini hanya sekedar catatan iseng saja, bukan review serius seperti yang lainya. Sebelum mulai, saya mencoba mengenal Mas Romi sedikit lebih intim; berbekal cerita-cerita dari mulutnya sendiri atau gosip dari tetangga. 

"all photographs are self-portraits" _ Minor White 

Romi Perbawa mulai menekuni fotografi kira-kira sejak 2006 silam dan belajar di Canon School Indonesia. Romi Perbawa kemudian mengasah kemampuanya dalam komunitas salon foto. Saya ingat percakapan kami di mobil dari Bajawa menuju Maumere 2012 silam, soal 'fotonya yang gini-gini aja'. Romi Perbawa lalu terjebak lebih jauh ke dalam dunia documentary setelah mengikuti Workshop Kelas Khusus yang diadakan oleh GFJA 2011 yang dimentori oleh Oscar Motuloh dan setahun berikutnya Romi Perbawa mengikuti Brantas Photography Workshop yang dimentori oleh Ahmad Deny Salman; tahun yang sama  ketika kami menegak moke merah dalam perjalanan menuju Maumere, Flores 2012. Pada tahun 2014, Romi Perbawa menerbitkan Riders of Destiny, buku yang membuat namanya memiliki tempat tersendiri di dunia documentary photography dunia. Hal yang mungkin belum terbayang di pikiranya ketika pertama kali mengokang Nikon FM2 di bangku SMA dulu. 

Latar belakang pendidikan fotografi yang penuh warna secara langsung membentuk 'karakter' foto-fotonya. Belum lagi ditambah dengan jumlah referensi buku fotografi yang tersusun di rak buku rumahnya di Surabaya dan ditambah lagi dengan 'bookmark' laman web semacam Magnum Photos dan lain sebagainya. Fakta bahwa Romi Perbawa mengasah urusan teknis dalam atmosfir salon photo yang kental akan pictorialism serta mempertajam kepekaan berceritera tentang soalan kehidupan para 'voiceless crowd' melalui berbagai lokakarya yang diikutinya membuat frame-frame yang dihasilkanya menjadi penuh warna. Riders of Destiny adalah hard proof-nya. 

Ketika pertamakali melihat foto Arnoldus Karno yang tertidur  di perahunya tahun 2012 silam saya teringat foto Yoko Aoki yang pulas diatas perahu dengan pose yang hampir sama yang difoto oleh suaminya; Nobuyoshi Araki. Kala itu; seingat saya (sebelum kabur oleh moke sejak sehari sebelumnya) Romi Perbawa menampilkan dalam format warna yang hangat. Saya sangat senang ketika mengetahui bahwa foto tersebut dimasukan juga dalam Au Loim Fain dan lebih bahagia lagi foto itu hanya dalam bentuk 'grayscale' sebagaimana foto-foto lainya dalam buku ini. Saya ndak bisa membayangkan bagaimana ribetnya tukang retouch untuk mempertahankan 'tonal' dan 'mood' dari berbagai subjek dan lokasi ketika buku ini dibikin dalam format warna. Bisa-bisa butuh setahun lagi baru terbit.

'Karno yang kelelahan tengah beristirahat, 2012'
Romi Perbawa, Au Loim Fain, hal 46-47, Yayasan Panna, 2021

Nobuyoshi Araki, Yoko Aoki sleeping, exhausted, Sentimental Journey series, 1971.

Hal lain yang patut diacungi jempol adalah soal tata sunting dari buku ini. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, membaca Au Loim Fain ibarat menonton Babel. Setiap aktor memiliki persoalan sendiri yang saling berkaitan satu dengan lainya. Penentuan ukuran cetakan serta jumlah cetakan dalam satu spread diperhatikan betul oleh Romi Perbawa dan tim rancang bangun buku ini. Konon, menurut rumor dari ring satu, keribetan urusan design dan retouching menjadi alasan sang penulis tidak bisa bersua melepas rindu di akhir tahun covid yang silam. Ada sebuah foto yang sangat cerdas dibuat dengan memperhatikan konteksnya terhadap si subject; saya tidak bicara soal invert portrait melainkan foto di halaman 133. Dicetak dengan ukuran lebih kecil, seakan 'diasingkan' dengan bidang putih yang dominan, bidang putih yang merepresentasikan suasana hampa dan senyap, polos dan suci, namun terasing di rumah sendiri; vulnerable. Foto tersebut dapit oleh dua foto yang ditampilkan double spread pada halaman sebelum dan sesudahnya, yang lebih riuh teriakanya. Ada semacam cinematic quality yang dihasilkan dari membuka halaman-halaman tadi. Efek yang sama yang dibuat di halaman 82-83 dibawah ini, yang dengan menampilkan secara triptych seakan sebuah storyboard adegan film. Dan ternyata trik yang sama dipakai pada halaman 126-127 walaupun ditampilkan secara diptych.

Romi Perbawa, Au Loim Fain, hal 82-83, Yayasan Panna, 2021

Romi Perbawa, Au Loim Fain, hal 126-127, Yayasan Panna, 2021

Kesuksesan portrait pada Riders of Destiny di-upgrade pada Au Loim Fain yang kali ini ditampilkan ala inverted portraits, menampilkan para tahanan yang akan dideportasi, yang dengan cerdas diapit oleh dua foto suasana pelabuhan tempat mereka nantinya akan 'dipulangkan'. Namun portrait yang menurut saya paling menarik adalah portrait ala August Sander yang menampilkan David Tinus bersama anaknya; Selton David. Tanpa perlu bersusah payah membaca captionya, saya bisa tahu bahwa David Tinus bekerja di perkebunan kelapa sawit. Barisan pohon palm di belakang, daun yang baru dipotong dan machete/parang di pinggang, dodos yang disandarkan pada batang pohon sawit, tatapan lugu kedua ayah dan anak adalah beberapa alasan saya sangat menyukai foto ini. Belum lagi pose David Tinus, yang mengingatkan pada pose Asnin yang diabadikan oleh S. Rama Surya pada Yang Kuat Yang Kalah duasetengah dekade sebelumnya.

Romi Perbawa, Au Loim Fain, hal 80-81, Yayasan Panna, 2021

S. Rama Surya, Asnin dan pisaunya, Yang Kuat Yang Kalah, Fotomedia, 1996.

Foto Indra bersama Fajar (hal 34-35) adalah foto dalam buku Au Loim Fain yang menjadi favorit lainya. Lucunya; jalanan berlumpur dan sudut pengambilan foto ini mengingatkan saya pada foto-foto Romi Perbawa dari Riders of Destiny. Apakah Romi Perbawa sedang mencoba menghadirkan signature shot-nya? Mungkin hanya Romi Perbawa dan Leica-nya yang bisa menjawab. 

Romi Perbawa, Au Loim Fain, hal 34-35, Yayasan Panna, 2021

Romi Perbawa, Riders of Destiny hal 46-47, GFJA 2014

Tanpa harus menambah spoiler Au Loim Fain, saya pikir urusan estetika foto per foto dicukupkan disini. Walau sejujurnya, fotografi secara esensial adalah urusan estetis. Perkara isu atau tema yang difoto urusan selanjutnya, toh kita harus paham soal gramar apalagi soalan brush dan kanvas jika berurusan dengan perihal melukis dengan cahaya. 


If I could tell the story in words, I wouldn't need to lug around a camera.”

Lewis Hine 

Hine taking photos in 1910
Hine taking photos 1910

Memasuki abad XX, Amerika Serikat dibanjiri oleh imigran dari berbagai belahan dunia untuk mencari penghidupan yang layak; The American Dream. Tujuannya adalah kota-kota industri pabrik manufaktur, peternakan, pertanian, pertambangan, transportasi dan informasi. Naasnya, buruh-buruh ini dibayar dengan upah rendah dan beban kerja yang tinggi. Naasnya lagi; sebagian besar dari buruh-buruh ini adalah anak-anak. Sensus yang dilakukan Pemerintah Amerika pada tahun 1900 mendapatkan angka 1,75 juta anak dibawah usia 16 tahun bekerja sebagai buruh pada berbagai sektor industri. 

Pada tahun 1904 sebuah lembaga swasta bernama Komite Pekerja Anak Nasional dibentuk di New York atas kondisi yang cukup meresahkan tadi. Pada tahun 1908, lembaga ini melakukan investigasi dan melaporkan perusahan-perusahaan yang mempekerjakan anak-anak. Lembaga ini kemudian mempekerjakan Lewis Wickes Hine, seorang fotografer, pengajar dan sosiolog serta anggota Progressive Movement untuk tujuan tersebut. Hine kemudian melakukan perjalanan investigatif keliling negeri selama sepuluh tahun lebih; membuat wawancara, melakukan pencatatan, dan memotret kondisi buruh anak di tempat mereka bekerja serta mendokumentasikan portraiture-nya. Hine kadang berpura-pura menjadi sales alkitab demi mendapatkan akses untuk memotret buruh anak yang dikehendakinya. 'aku ingin memotret anak-anak ini sambil membaca word of god' kilahnya pada majikan yang enggan memberikan ijin. Setiap foto dilengkapi dengan caption yang sangat detail, ditulis oleh Hine sendiri. Hine mengumpulkan lebih dari 5000 foto selama satu dekade, dilengkapi dengan ratusan halaman laporan sebagai dokumen utuh. Hine menegaskan adanya keterkaitan antara teks dan imaji yang merupakan satu kesatuan, dan untuk membacanya perlu diaplikasikan metode sebagaimana kita membaca karya tulis, kilahnya. Hine menyebutnya 'photo stories; atau interpretative photography'. Pada masa itu, belum dikenal istilah photo documentary. Foto-foto yang dibuat Lewis Hine, dipublikasikan di beberapa media dan jurnal yang membentuk pemahaman publik akan 'buruh anak' dan kemudian memaksa State Legislature menerbitkan Undang-Undang terkait batas usia pekerja anak; 18 tahun. Undang-Undang yang kemudian menghapus persoalan buruh anak dari Amerika Serikat. Anak dibawah usia 18 tahun yang tadinya bekerja sebagai buruh tadi, kemudian dikirimkan ke bangku sekolah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang baru.

Lewis Wickes Hine meninggal pada 3 November 1940. Hine menggunakan fotografi sebagai "social reform tool"; untuk memberikan terang, menyuarakan ketidakadilan dan memanusiakan manusia. Metode kerja dan karya-karyanya menjadi bahan pembelajaran bagi generasi selanjutnya. Para fotografer Farm Security Administration yang dikumpulkan di tahun 1930an oleh Roy Stryker, dididik dalam disiplin kerja yang diusung Lewis Hine. Hasilnya; 80.000 lebih foto berhasil dikumpulkan oleh FSA yang oleh sang direktur disebut sebagai "visual encyclopedia of American life". Sebagian besar karya Lewis Hine yang berhasil didigitalisasi dapat diakses di laman Lewis Hine Project oleh Joe Manning.

'if your picture aren't good enough, you're not close enough' _ Robert Capa

Mengamati proyek fotografi yang telah dilakukan Romi Perbawa baik pada Riders of Destiny & Au Loim Fain mengingatkan saya pada Lewis Hine yang disinggung di atas. Saya melihat semangat yang sama yang diusung oleh Romi Perbawa melalui project-project fotografi yang dibuatnya; yang dalam ungkapanya sendiri "jadi setitik cahaya agar bisa jadi terang, agar orang lain bisa melihat". Hal lain yang saya pelajari dari sosok Romi Perbawa yang sentimentil adalah dia memotret dengan empati sebagai bahan bakarnya. Dengan empati; Romi Perbawa membuat subjectnya menjadi manusia, menjadikan mereka dekat dengan khalayak, menampilkan mereka sebagai sosok yang sama seperti kita hanya berbeda kondisinya. Dengan empathy sebagai bahan bakar kreatifitas, frame-frame Romi Perbawa dibuat dengan sangat intim namun tanpa menganggu subjeknya sama sekali. Sangat dekat baik dalam jarak pengambilan gambar maupun dekat secara emosional. Kita bisa lihat bagaimana subjek-subjek memberikan 'diri secara natural' tanpa harus 'sadar kamera'; lens based awareness. Empati juga merupakan alasan pencarian dua projek yang dibukukanya. Lihat bagaimana Romi Perbawa memulai keduanya; melalui hal yang sentimental: joki cilik terjatuh dari kuda pacuan dan bocah 13 tahun yang harus mengarungi lautan Flores demi menghidupi diri dan keluarganya. Adegan-adegan yang kemudian membisikan sebait lirik Manic Street Preacher 'if you tolerate this then your children will be next'. Saya terkenang ucapan Romi Perbawa 2012 silam:

"saya ingat anak saya"

Lebih dari itu, pada 2014 silam keuntungan dari penjualan buku Riders of Destiny dialokasikan untuk beberapa hal yang dibutuhkan oleh para joki cilik tersebut, salah satunya protective gear. Beberapa waktu berikutnya petisi dengan tagar #stopjokicilik digaungkan sebagai bentuk perjuangan advokasi bagi 'voiceless crowd' di medan pacuan kuda. Seberapa impactnya, saya tidak paham tapi sepengetahuan saya Romi Perbawa sudah menyediakan bolt cutter bagi kita untuk bisa memutus kawat duri yang memenjarakaan mereka yang powerless dan hopeless; voiceless crowd.

Romi Perbawa, Au Loim Fain, hal 72-73, Yayasan Panna, 2021


"au loim fain" _ Adelina Sau

Beberapa saat pasca peristiwa meninggalnya Adelina Sau, pemerintah NTT melalui Gubernur Victor B. Laiskodat kemudian menghembuskan isu moratorium soal tenaga kerja migran asal wilayah administrasi yang dipimpinya. Isu yang pro kontra ini berakhir dengan "kesepakatan" moratorium hanya khusus bagi mereka yang tidak berketerampilan dan kemampuan yang ditentukan. Sejumlah rencana kerja dan agenda dibuat; balai pelatihan-lah, sertifkasi-lah dan banyak lagi. Saya tidak begitu mengikuti perkembangannya; entah sejauh mana kebijakan terkait 'penghentian kiriman peti mati dari luar negeri' ini dijalankan atau bahkan sekedar dipikirkan. Konon; pemerintah ingin agar nantinya tenaga kerja yang berangkat ke luar negeri adalah mereka yang sudah terlatih. Hal yang menurut saya sangat kontra produktif. Pasalnya; NTT sendiri butuh tenaga terlatih untuk dirinya sendiri. Kalau semua angkatan kerja dilatih dan dikirimkan keluar, lalu siapa yang bakal mengisi spot-spot di sektor industri, perikanan, pertanian, perkebunan dll di NTT? Atau jikalau boleh bertanya dengan format lain: kapan pemerintah berani membasmi mafia rantau yang punya kaki tangan layaknya gurita? Menjamah sampai ke pelosok paling udik di wilayah yang Nanti Tuhan Tolong! Wilayah yang belum dijamah kata pemerataan pembangunan walau sepulau dengan ibukota propinsi; bahkan listrik belum masuk, sawah ladang masih kering kerontang walau 'sumber aer su dekat'.
Ah mungkin mereka hanya minum aer kata-kata, hanya habis di omong saja! seperti kata oom sopir di awal diary ini.

Romi Perbawa, Au Loim Fain, hal 112-113, Yayasan Panna, 2021

Ditulis sebagai ode untuk Lewis Hine van Kutoardjo, sahabat dan idola.

Ende, 01 Mei 2021

Karolus Naga
mantan buruh migran, sekarang menetap di Ende Flores. 



ps: Buku Au Loim Fain diterbitkan oleh Yayasan Panna - edisi pertama dicetak sebanyak 500 eksemplar saja. itupun kalau ada edisi berikutnya, jadi segeralah koleksi.

 

PannaFoto Institute dengan gembira menerbitkan buku foto keenam, Au Loim Fain (Aku Ingin Pulang) karya Romi Perbawa.

Foto-foto dalam buku ini dipotret antara tahun 2012-2019 di Indonesia, Malaysia dan Hong Kong.

Spesifikasi:
Format: Hardcover
Ukuran: 21 cm x 29,7 cm
Berat: 1,1 kg
Halaman: 160 halaman
ISBN: 978-602-70213-4-1
Penerbit: Yayasan Panna
Harga:
IDR 470.000,- belum termasuk ongkos kirim

Pemesanan: KLIK DISINI

Saturday 17 April 2021

AKIRA NAGAPUTERA

CHAPTER I

Treats of the place where Oliver Twist was born, and of their circumstances attending his birth.

Charles Dickens, Oliver Twist - page 1
Akhirnya saya bisa mendengarkan Father and Son milik Yusuf Islam atau Nak milik Iwan Fals dengan konteks yang lebih pantas. I'm a father now, what the heck. Here's some notes on the day my son was born and how its been going on recently.


Sekitar empat tahun lalu saya membeli beberapa buku novel di bazar buku Gramedia, salah satunya adalah novel karya Charles Dickens yang berjudul Oliver Twist. Saya membaca setengah novel ini di bangku sekolah menengah, kebetulan sekolah kami yang walaupun di pelosok daerah, punya perpustakaan dengan koleksi yang cukup bagus. Saya mengenal beberapa karya klasik Eropa disana, rupanya para pastur Eropa yang bekerja di sekolah kami itu membawa serta koleksi buku-bukunya ketika bertugas. Kembali ke Bazar buku tadi; ada beberapa karya klasik yang dijual disana dengan harga yang cukup murah, seperti Count of Monte Cristo, Three Musketeer, Moby Dick dll. Sayangnya tidak ada karya klasik dari Indonesia yang dipajang disana. Padahal sedang ingin mengoleksi Pada Sebuah Kapal milik mendiang N.H Dini.

Mantan kekasih yang kebetulan menemani belanja bertanya soal Oliver Twist; soal apa sih itu buku? Saya menjawab dengan mencoba mengingat-ingat jalan cerita yang sedikit samar di kepala; ini buku soal kehidupan anak di era Victoria yang dingin & rusak. Lahir dan dibesarkan di panti asuhan kemudian tumbuh dan besar di jalanan. Untuk bertahan hidup, dia harus melakukan apapun; menjadi pencopet dan melakukan tindak kejahatan lainya. Saya menambahkan; kalau pingin punya anak - sebaiknya baca novel ini. Biar ada gambaran betapa berat hidup seorang anak kalau ditelantarkan di dunia yang makin rusak parah seperti era ini. 

Sore itu tertanggal 13 Maret tahun 2021; tahun kedua pandemi Covid19 - mantan kekasih yang sudah jadi isteri menjalani operasi caesar untuk memberikan kesempatan bagi bayi lelaki mungil menghirup udara diluar rahim ibunya untuk pertama kali. Kami memutuskan untuk menempuh metode caesar setelah lebih dari 6 jam tanpa kemajuan perubahan bukaan dan di sisi lain; air ketuban semakin terkuras keluar. Jika tidak diputuskan dengan cepat; kemungkinan paling buruk bisa menjadi buahnya.
 
Dinamai Akira; seperti nama sutradara asal Jepang yang karyanya digilai bapaknya; Akira Kurosawa.

Di awal tes ultrasonografi, kami kebetulan ditangani oleh dokter Dwipa. Beliau merahasiakan jenis kelamin janin pada kami berdua. Susahnya kalau dokter yang nangani adalah temen sendiri, suka becanda. Tak lama berselang, dr. Dwipa pindah ke Bali. Kangen isteri dan keterima jadi ASN disana katanya. Kami kemudian ditangani dokter Yussya. Hasil ultrasonografi yang dibaca dokter Yussya mengindikasikan janin yang ada di perut isteri berkelamin perempuan. Ah, betapa leganya. Kami tidak pernah mempersoalkan jenis kelamin, mau laki atau perempuan sama aja. Harap kami hanya kesehatanya semata. Di sisi lain, kami bisa mencicil persiapan kebutuhannya, seperti baju-bajunya nanti. Berlokasi di Ende, persoalan belanja harus memakai trik tersendiri untuk mengakali ongkos kirim dan ketersediaan pasokan. Segala kebutuhan anak kami dipersiapkan lewat marketplace. Penting bagi kami untuk bisa tahu jenis kelaminya, agar bisa mempersiapkan baju/dress-nya untuk usia 6 bulan keatas nantinya. Dan yang lebih penting lagi, memberikan nama. Kami ingin sebelum lahir, bayi kami sudah memiliki nama. Kami sepakat untuk menamainya Delonix Regia Nagaputeri - nama latin untuk bunga flamboyan. Bunga yang ketika bermekaran di sepanjang pesisir Timur Nusa Nipa, membuat para pelaut Portugis yang beberapa tahun sebelumnya melempar sauh di Vila Taveiro menamai pulau ini dengan sebutan Cabo de Flores; Semenanjung Bunga-Bunga. Flores

Seiring berjalan waktu, kami kembali memeriksakan rutin di klinik RSUD Ende. Kebetulan yang sedang piket adalah dokter Lidya. Hasil bacaan ultrasonografi dr. Lidya mengindikasikan kalau janin dalam perut isteri justru berjenis kelamin laki-laki. Ah, harus mempersiapkan kemungkinan ini; mempersiapkan keperluanya dan memilihkan nama. Cambrian adalah alternatif lain yang disiapkan untuk nama anak lelaki, merujuk pada Cambrian Explosion - peristiwa yang diyakini sebagai awal dari kehidupan di muka bumi ini. Namun Akira lebih disukai oleh kami berdua. Demokrasi menjengkelkan. Dan seperti yang ditulis diatas, kami memberikan Akira sebagai nama panggilannya. Seperti nama sang sutradara Jepang yang karyanya digilai bapaknya. Dan kebetulan terbesit sebuah lagu lama dari Dodo Zakaria, Deddy Dhukun dan Utha Likumahuwa - Akira, sepertinya Akira nama yang cukup bagus. 

Lagipula kami hanya berencana punya satu. Seperti lirik lagu oom Utha tadi:
akira dirimu di dalam hidupku satu-satunya
kaulah yang pertama untuk yang terakhir
Proses melahirkan adalah proses dimana seorang perempuan sudah berada di liang lahat sebelah kakinya. Melihat isteri berjuang melawan sakit saat kontraksi adalah pemandangan yang sangat menyedihkan. Selama proses saya hanya bisa mencoba menenangkan isteri, kamera hanya digeletakan di lantai. Ada hal yang lebih sentimentil tinimbang merekam. Dan setelah dipertimbangkan, segera isteri menuju ruang operasi. Sayangnya, dengan protokol kesehatan yang berlaku, tidak memungkinkan saya sebagai suaminya untuk ikut serta dalam ruang operasi. Saya hanya bisa menunggu di luar ditemani Mama, Mbak, Mario dan Mbak Devina.

Tak berselang lama, mungkin sekitar 40 menit kemudian, tangis bayi terdengar dari ruang operasi. Selamat. Operasinya lancar, bayinya sehat. Semuanya lengkap - bayi lelaki. 
'Isteri saya bagaimana?' ... oh beliau sudah pulas selama proses operasi. Semuanya aman. Akira langsung dibawa ke ruang bayi oleh Mbak Devina yang kebetulan bertugas disana. Akira harus menginap 2 malam disana, sampai mamanya pulih baru bisa menikmati asi. Konon bayi dapat bertahan 2x24 jam tanpa asi. Wow.


Tanggal 15 Maret 2021 kami diperbolehkan pulang ke rumah. Mama menjemput kado ulang tahunya, kebetulan hari itu adalah hari ulang tahunya. Nenek turun gunung beberapa hari berikutnya. Menengok buyutnya yang kesekian. Saya dan isteri lalu teringat beberapa bulan lalu, ketika Nenek sedang mengunjungi kami. Dia dengan penuh yakin mengatakan bayinya laki-laki, jauh sebelum kami mendapat kepastian dari hasil ultrasonografi.

Pulang ke rumah, berarti ada perubahan jam tidur kami berdua. Ada jadwal shift jaga yang harus diatur. Ada sekian banyak keahlian terkait mengurus bayi yang harus dikuasai. Saya bahkan mulai menguasai teknik 'bedong' yang dipelajari dari sekian banyak chanel youtube. Mempelajari trik mengatasi idung mampet dan lendir yang tidak bisa dikeluarkan oleh bayi dan sebagainya. Mengganti popok dan membersihkan poop dan pipis masih merupakan hal yang remeh jika dibandingkan dengan mengatasi ingus bayi yang susah keluar dan menghalangi jalanya pernapasan. Satu dari sekian banyak skill yang harus dikuasai selain ngelas rak besi dan mengganti atap bocor atau menyusun cerita lewat kumpulan foto-foto dan menyangrai kopi.

Akira kemudian jadi subject foto yang menggairahkan. Kemungkinan dia akan punya cerita sendiri, entah sampai berapa chapter nantinya. 


Pernah satu ketika saya berkesempatan berbagi di Sekolah Musa Kupang, dan mengenalkan cara bertutur lewat rangkaian foto kepada para anggota kelas. Tujuanya sederhana; membiasakan teman-teman untuk menggunakan susunan foto-foto dan membentuk cerita, yang mana lebih efektif ketimbang single image, cmiiw. Sebagai awal perkenalan, saya memberikan kebebasan bagi teman-teman untuk memilih topik dan ceritanya sendiri. Saya hanya menyarankan; mulailah dengan hal-hal yang dekat. Mulailah dari rumah. Karena ini adalah perkenalan awal, teman-teman dirangsang untuk berceritera lewat diary visual. Hal yang sudah jarang dipraktekan lagi.

Salah seorang teman memotret anak lelakinya. Saya sangat antusias menemani proses menulis diary visualnya. Pada satu titik beliau bertanya, atau lebih tepatnya meminta tanggapan. Saya ingat betul pertanyaanya "kak, beta kan bikin cerita soal beta pu anak. na apakah ini menarik. maksudnya seberapa penting cerita personal model begini untuk dibikinkan photostory?' 

Ketika Kodak mengenalkan kamera brownie yang dijuluki 'kotak sepatu' pada masyarakat, fotografi kemudian menjadi dekat dengan kehidupan sehari-hari. Fotografi tidak lagi dipraktekan oleh para penganut 'art gratia artis' lagi, tapi oleh siapa saja yang mampu mengakses preparat yang murah meriah tersebut. You press the botton, we'll do the rest. Fotografi kemudian masuk ranah domestik, dirayakan dalam tingkatan paling esensial; membekukan waktu - bukan lagi sebagai kegiatan 'melukis dengan cahaya'. Alhasil, para amateur ini mengoleksi hampir sebagian besar event domestik dalam album fotonya; liburan, piknik, perayaan natal bahkan hingga hal banal seperti keseharian di rumah. Amateur dalam bahasa aslinya bermakna  'kekasih' - atau sebagai verba dia diterjemahkan sebagai 'labour of love'. Dan para amateur ini mengabadikan apa yang dicintai dengan penuh cinta.

Seberapa pentingkah peristiwa banal dan subject matter yang remeh temeh di rumah diabadikan dan disajikan sebagai sebuah foto story? Jawabnya; penting untuk siapa. Jika kita melakukan sesuatu hanya untuk mengesankan orang lain maka ada hal salah yang sebaiknya diperbaiki disini. Namun jika kita melakukan hal yang kita sukai dengan kesadaran bahwa 'it matters to me and me only' atau secara sederhana sebagai 'rekaman' akan the loved one maka apapun anggapan orang lain bukan menjadi soal lagi. Hanya ibarat kentut, baunya sebentar saja - setelahnya kita masih bisa menghirup udara bersih setelah menjauhi sumber baunya. Hal yang saya pelajari dari William Eggleston


William Eggleston adalah seorang fotografer yang mendobrak 'anggapan' umum bahwa sebuah karya fotografi yang serius adalah karya Hitam Putih dan dipajang dalam galeri seni sebagai bentuk puncaknya. Eggleston, memotret dalam format warna, dan subject matter yang direkamnya adalah hal-hal yang membosankan yang ditemui di kotanya, Memphis; kota kelahiran Elvis The King Presley. Dan ketika dia akhirnya berkesempatan berpameran di Museum of Modern Art, dia telat 20 menit. Eggleston sangat mengidolai Robert Frank dan Henri-Cartier Bresson. Menurutnya, kedua orang ini memiliki pengaruh yang sangat besar pada fotografinya. Suatu ketika Henri-Cartier Bresson berkunjung ke Amerika untuk sebuah helatan dan Eggleston tak mau ketinggalan ingin bertemu dengan idolanya tersebut. Ketika bertemu, Bresson berkata pada Eggleston 'Bill, apa yang kamu lakukan dengan fotografimu itu sampah'. Eggleston, mendengar hal demikian yang diucapkan oleh tokoh idolanya dengan senyum dan membalas dengan gaya khas lelaki Memphis 'Thankyou', lalu pergi meninggalkan helatan tersebut dan ngebir di tempat lain. Egglestone mungkin percaya; sekeren-kerenya dirimu, kau tak berhak merendahkan karyanya. Sikap yang bikin saya makin suka dengan sosok pendiam satu ini.

Ada sebuah hal yang sangat mengganggu saya secara pribadi dalam hal ini, beberapa orang yang memiliki latar belakang fotografi dengan cita-cita yang terkuak dalam manifesto Life Magazine merasa lebih superior dari mereka-mereka yang mempraktekan fotografi dengan subject matter yang banal; sesuatu yang dekat dengan fotografer atau bahkan foto domestik sang fotografer. Atau mungkin ini adalah warisan pertentangan yang sudah berlaku sejak masa 'pictorialism'; seolah-olah ada stratifikasi hirearki dalam fotografi dimana mereka yang memilih menjadi 'saksi dan bersuara bagi yang tak bersuara' menjadi tokoh puncak yang dikultuskan masyarakat kebanyakan. Hal yang dengan sedihnya kemudian membuat teman saya yang jauh di sudut kota Kupang tadi merasa inferior; foto anak lelaki pertamanya dia anggap bukan merupakan subject matter yang penting untuk direkam secara serius, kalah penting ketimbang 'perubahan kota' dan perubahan sosial atau hal seputar kenaikan air laut dan persoalan ketidakadilan gender. Siapa yang menentukan hal itu? 

Kamera memberikan lisensi bagi seseorang untuk membentuk dunianya, demikian titah Susan Sontag. Dan banyak yang sukses memberikan sepenggal dunianya untuk bisa direfleksikan orang lain yang otaknya bekerja selayaknya parasut; sebut saja Christian Sundee, Sally Mann, Nobuyoshi Araki dengan Sentimental Journey-nya, Larry Sultan dengan Pictures from Home, Larry Clark dengan Tulsa-nya, Nan Goldin dengan Dependency-nya dan masih banyak lagi orang-orang baik di belahan Barat maupun di negeri sendiri yang punya karya-karya personal yang sangat powerful dan jujur. Ini yang penting, jujur. Terkadang frame-frame dari ranah domestik dibikin karena kejujuranya. Tanpa adanya tuntutan fotografis yang mengikat, tanpa ada tenggat atau tekanan psikologis bawah sadar sebagai 'voice of the voiceless'. 

Untuk teman saya dari Kupang tadi, hey terimakasih yah sudah memberikan gambaran bagaimana jadi orang tua jauh sebelum Akira lahir 13 Maret lalu. Sekarang saya paham, nada-nada sepi di tiap frame yang kamu bikin. Kita ndak pengen bayi kecil itu terbangun dari mimpi dalam tidurnya oleh gaduh dan riuh. Terimakasih yah. Dan hey, tiada hentinya saya ingin ngingetin kamu


dan kalau kamu klik karya Darrin Zammit Lupi di quotes di atas, jangan lupa siapkan tisu. Terimakasih.


Ditulis ketika Akira sedang lelap bersama mamanya.

Ende, 17 April 2021