Saturday 17 April 2021

AKIRA NAGAPUTERA

CHAPTER I

Treats of the place where Oliver Twist was born, and of their circumstances attending his birth.

Charles Dickens, Oliver Twist - page 1
Akhirnya saya bisa mendengarkan Father and Son milik Yusuf Islam atau Nak milik Iwan Fals dengan konteks yang lebih pantas. I'm a father now, what the heck. Here's some notes on the day my son was born and how its been going on recently.


Sekitar empat tahun lalu saya membeli beberapa buku novel di bazar buku Gramedia, salah satunya adalah novel karya Charles Dickens yang berjudul Oliver Twist. Saya membaca setengah novel ini di bangku sekolah menengah, kebetulan sekolah kami yang walaupun di pelosok daerah, punya perpustakaan dengan koleksi yang cukup bagus. Saya mengenal beberapa karya klasik Eropa disana, rupanya para pastur Eropa yang bekerja di sekolah kami itu membawa serta koleksi buku-bukunya ketika bertugas. Kembali ke Bazar buku tadi; ada beberapa karya klasik yang dijual disana dengan harga yang cukup murah, seperti Count of Monte Cristo, Three Musketeer, Moby Dick dll. Sayangnya tidak ada karya klasik dari Indonesia yang dipajang disana. Padahal sedang ingin mengoleksi Pada Sebuah Kapal milik mendiang N.H Dini.

Mantan kekasih yang kebetulan menemani belanja bertanya soal Oliver Twist; soal apa sih itu buku? Saya menjawab dengan mencoba mengingat-ingat jalan cerita yang sedikit samar di kepala; ini buku soal kehidupan anak di era Victoria yang dingin & rusak. Lahir dan dibesarkan di panti asuhan kemudian tumbuh dan besar di jalanan. Untuk bertahan hidup, dia harus melakukan apapun; menjadi pencopet dan melakukan tindak kejahatan lainya. Saya menambahkan; kalau pingin punya anak - sebaiknya baca novel ini. Biar ada gambaran betapa berat hidup seorang anak kalau ditelantarkan di dunia yang makin rusak parah seperti era ini. 

Sore itu tertanggal 13 Maret tahun 2021; tahun kedua pandemi Covid19 - mantan kekasih yang sudah jadi isteri menjalani operasi caesar untuk memberikan kesempatan bagi bayi lelaki mungil menghirup udara diluar rahim ibunya untuk pertama kali. Kami memutuskan untuk menempuh metode caesar setelah lebih dari 6 jam tanpa kemajuan perubahan bukaan dan di sisi lain; air ketuban semakin terkuras keluar. Jika tidak diputuskan dengan cepat; kemungkinan paling buruk bisa menjadi buahnya.
 
Dinamai Akira; seperti nama sutradara asal Jepang yang karyanya digilai bapaknya; Akira Kurosawa.

Di awal tes ultrasonografi, kami kebetulan ditangani oleh dokter Dwipa. Beliau merahasiakan jenis kelamin janin pada kami berdua. Susahnya kalau dokter yang nangani adalah temen sendiri, suka becanda. Tak lama berselang, dr. Dwipa pindah ke Bali. Kangen isteri dan keterima jadi ASN disana katanya. Kami kemudian ditangani dokter Yussya. Hasil ultrasonografi yang dibaca dokter Yussya mengindikasikan janin yang ada di perut isteri berkelamin perempuan. Ah, betapa leganya. Kami tidak pernah mempersoalkan jenis kelamin, mau laki atau perempuan sama aja. Harap kami hanya kesehatanya semata. Di sisi lain, kami bisa mencicil persiapan kebutuhannya, seperti baju-bajunya nanti. Berlokasi di Ende, persoalan belanja harus memakai trik tersendiri untuk mengakali ongkos kirim dan ketersediaan pasokan. Segala kebutuhan anak kami dipersiapkan lewat marketplace. Penting bagi kami untuk bisa tahu jenis kelaminya, agar bisa mempersiapkan baju/dress-nya untuk usia 6 bulan keatas nantinya. Dan yang lebih penting lagi, memberikan nama. Kami ingin sebelum lahir, bayi kami sudah memiliki nama. Kami sepakat untuk menamainya Delonix Regia Nagaputeri - nama latin untuk bunga flamboyan. Bunga yang ketika bermekaran di sepanjang pesisir Timur Nusa Nipa, membuat para pelaut Portugis yang beberapa tahun sebelumnya melempar sauh di Vila Taveiro menamai pulau ini dengan sebutan Cabo de Flores; Semenanjung Bunga-Bunga. Flores

Seiring berjalan waktu, kami kembali memeriksakan rutin di klinik RSUD Ende. Kebetulan yang sedang piket adalah dokter Lidya. Hasil bacaan ultrasonografi dr. Lidya mengindikasikan kalau janin dalam perut isteri justru berjenis kelamin laki-laki. Ah, harus mempersiapkan kemungkinan ini; mempersiapkan keperluanya dan memilihkan nama. Cambrian adalah alternatif lain yang disiapkan untuk nama anak lelaki, merujuk pada Cambrian Explosion - peristiwa yang diyakini sebagai awal dari kehidupan di muka bumi ini. Namun Akira lebih disukai oleh kami berdua. Demokrasi menjengkelkan. Dan seperti yang ditulis diatas, kami memberikan Akira sebagai nama panggilannya. Seperti nama sang sutradara Jepang yang karyanya digilai bapaknya. Dan kebetulan terbesit sebuah lagu lama dari Dodo Zakaria, Deddy Dhukun dan Utha Likumahuwa - Akira, sepertinya Akira nama yang cukup bagus. 

Lagipula kami hanya berencana punya satu. Seperti lirik lagu oom Utha tadi:
akira dirimu di dalam hidupku satu-satunya
kaulah yang pertama untuk yang terakhir
Proses melahirkan adalah proses dimana seorang perempuan sudah berada di liang lahat sebelah kakinya. Melihat isteri berjuang melawan sakit saat kontraksi adalah pemandangan yang sangat menyedihkan. Selama proses saya hanya bisa mencoba menenangkan isteri, kamera hanya digeletakan di lantai. Ada hal yang lebih sentimentil tinimbang merekam. Dan setelah dipertimbangkan, segera isteri menuju ruang operasi. Sayangnya, dengan protokol kesehatan yang berlaku, tidak memungkinkan saya sebagai suaminya untuk ikut serta dalam ruang operasi. Saya hanya bisa menunggu di luar ditemani Mama, Mbak, Mario dan Mbak Devina.

Tak berselang lama, mungkin sekitar 40 menit kemudian, tangis bayi terdengar dari ruang operasi. Selamat. Operasinya lancar, bayinya sehat. Semuanya lengkap - bayi lelaki. 
'Isteri saya bagaimana?' ... oh beliau sudah pulas selama proses operasi. Semuanya aman. Akira langsung dibawa ke ruang bayi oleh Mbak Devina yang kebetulan bertugas disana. Akira harus menginap 2 malam disana, sampai mamanya pulih baru bisa menikmati asi. Konon bayi dapat bertahan 2x24 jam tanpa asi. Wow.


Tanggal 15 Maret 2021 kami diperbolehkan pulang ke rumah. Mama menjemput kado ulang tahunya, kebetulan hari itu adalah hari ulang tahunya. Nenek turun gunung beberapa hari berikutnya. Menengok buyutnya yang kesekian. Saya dan isteri lalu teringat beberapa bulan lalu, ketika Nenek sedang mengunjungi kami. Dia dengan penuh yakin mengatakan bayinya laki-laki, jauh sebelum kami mendapat kepastian dari hasil ultrasonografi.

Pulang ke rumah, berarti ada perubahan jam tidur kami berdua. Ada jadwal shift jaga yang harus diatur. Ada sekian banyak keahlian terkait mengurus bayi yang harus dikuasai. Saya bahkan mulai menguasai teknik 'bedong' yang dipelajari dari sekian banyak chanel youtube. Mempelajari trik mengatasi idung mampet dan lendir yang tidak bisa dikeluarkan oleh bayi dan sebagainya. Mengganti popok dan membersihkan poop dan pipis masih merupakan hal yang remeh jika dibandingkan dengan mengatasi ingus bayi yang susah keluar dan menghalangi jalanya pernapasan. Satu dari sekian banyak skill yang harus dikuasai selain ngelas rak besi dan mengganti atap bocor atau menyusun cerita lewat kumpulan foto-foto dan menyangrai kopi.

Akira kemudian jadi subject foto yang menggairahkan. Kemungkinan dia akan punya cerita sendiri, entah sampai berapa chapter nantinya. 


Pernah satu ketika saya berkesempatan berbagi di Sekolah Musa Kupang, dan mengenalkan cara bertutur lewat rangkaian foto kepada para anggota kelas. Tujuanya sederhana; membiasakan teman-teman untuk menggunakan susunan foto-foto dan membentuk cerita, yang mana lebih efektif ketimbang single image, cmiiw. Sebagai awal perkenalan, saya memberikan kebebasan bagi teman-teman untuk memilih topik dan ceritanya sendiri. Saya hanya menyarankan; mulailah dengan hal-hal yang dekat. Mulailah dari rumah. Karena ini adalah perkenalan awal, teman-teman dirangsang untuk berceritera lewat diary visual. Hal yang sudah jarang dipraktekan lagi.

Salah seorang teman memotret anak lelakinya. Saya sangat antusias menemani proses menulis diary visualnya. Pada satu titik beliau bertanya, atau lebih tepatnya meminta tanggapan. Saya ingat betul pertanyaanya "kak, beta kan bikin cerita soal beta pu anak. na apakah ini menarik. maksudnya seberapa penting cerita personal model begini untuk dibikinkan photostory?' 

Ketika Kodak mengenalkan kamera brownie yang dijuluki 'kotak sepatu' pada masyarakat, fotografi kemudian menjadi dekat dengan kehidupan sehari-hari. Fotografi tidak lagi dipraktekan oleh para penganut 'art gratia artis' lagi, tapi oleh siapa saja yang mampu mengakses preparat yang murah meriah tersebut. You press the botton, we'll do the rest. Fotografi kemudian masuk ranah domestik, dirayakan dalam tingkatan paling esensial; membekukan waktu - bukan lagi sebagai kegiatan 'melukis dengan cahaya'. Alhasil, para amateur ini mengoleksi hampir sebagian besar event domestik dalam album fotonya; liburan, piknik, perayaan natal bahkan hingga hal banal seperti keseharian di rumah. Amateur dalam bahasa aslinya bermakna  'kekasih' - atau sebagai verba dia diterjemahkan sebagai 'labour of love'. Dan para amateur ini mengabadikan apa yang dicintai dengan penuh cinta.

Seberapa pentingkah peristiwa banal dan subject matter yang remeh temeh di rumah diabadikan dan disajikan sebagai sebuah foto story? Jawabnya; penting untuk siapa. Jika kita melakukan sesuatu hanya untuk mengesankan orang lain maka ada hal salah yang sebaiknya diperbaiki disini. Namun jika kita melakukan hal yang kita sukai dengan kesadaran bahwa 'it matters to me and me only' atau secara sederhana sebagai 'rekaman' akan the loved one maka apapun anggapan orang lain bukan menjadi soal lagi. Hanya ibarat kentut, baunya sebentar saja - setelahnya kita masih bisa menghirup udara bersih setelah menjauhi sumber baunya. Hal yang saya pelajari dari William Eggleston


William Eggleston adalah seorang fotografer yang mendobrak 'anggapan' umum bahwa sebuah karya fotografi yang serius adalah karya Hitam Putih dan dipajang dalam galeri seni sebagai bentuk puncaknya. Eggleston, memotret dalam format warna, dan subject matter yang direkamnya adalah hal-hal yang membosankan yang ditemui di kotanya, Memphis; kota kelahiran Elvis The King Presley. Dan ketika dia akhirnya berkesempatan berpameran di Museum of Modern Art, dia telat 20 menit. Eggleston sangat mengidolai Robert Frank dan Henri-Cartier Bresson. Menurutnya, kedua orang ini memiliki pengaruh yang sangat besar pada fotografinya. Suatu ketika Henri-Cartier Bresson berkunjung ke Amerika untuk sebuah helatan dan Eggleston tak mau ketinggalan ingin bertemu dengan idolanya tersebut. Ketika bertemu, Bresson berkata pada Eggleston 'Bill, apa yang kamu lakukan dengan fotografimu itu sampah'. Eggleston, mendengar hal demikian yang diucapkan oleh tokoh idolanya dengan senyum dan membalas dengan gaya khas lelaki Memphis 'Thankyou', lalu pergi meninggalkan helatan tersebut dan ngebir di tempat lain. Egglestone mungkin percaya; sekeren-kerenya dirimu, kau tak berhak merendahkan karyanya. Sikap yang bikin saya makin suka dengan sosok pendiam satu ini.

Ada sebuah hal yang sangat mengganggu saya secara pribadi dalam hal ini, beberapa orang yang memiliki latar belakang fotografi dengan cita-cita yang terkuak dalam manifesto Life Magazine merasa lebih superior dari mereka-mereka yang mempraktekan fotografi dengan subject matter yang banal; sesuatu yang dekat dengan fotografer atau bahkan foto domestik sang fotografer. Atau mungkin ini adalah warisan pertentangan yang sudah berlaku sejak masa 'pictorialism'; seolah-olah ada stratifikasi hirearki dalam fotografi dimana mereka yang memilih menjadi 'saksi dan bersuara bagi yang tak bersuara' menjadi tokoh puncak yang dikultuskan masyarakat kebanyakan. Hal yang dengan sedihnya kemudian membuat teman saya yang jauh di sudut kota Kupang tadi merasa inferior; foto anak lelaki pertamanya dia anggap bukan merupakan subject matter yang penting untuk direkam secara serius, kalah penting ketimbang 'perubahan kota' dan perubahan sosial atau hal seputar kenaikan air laut dan persoalan ketidakadilan gender. Siapa yang menentukan hal itu? 

Kamera memberikan lisensi bagi seseorang untuk membentuk dunianya, demikian titah Susan Sontag. Dan banyak yang sukses memberikan sepenggal dunianya untuk bisa direfleksikan orang lain yang otaknya bekerja selayaknya parasut; sebut saja Christian Sundee, Sally Mann, Nobuyoshi Araki dengan Sentimental Journey-nya, Larry Sultan dengan Pictures from Home, Larry Clark dengan Tulsa-nya, Nan Goldin dengan Dependency-nya dan masih banyak lagi orang-orang baik di belahan Barat maupun di negeri sendiri yang punya karya-karya personal yang sangat powerful dan jujur. Ini yang penting, jujur. Terkadang frame-frame dari ranah domestik dibikin karena kejujuranya. Tanpa adanya tuntutan fotografis yang mengikat, tanpa ada tenggat atau tekanan psikologis bawah sadar sebagai 'voice of the voiceless'. 

Untuk teman saya dari Kupang tadi, hey terimakasih yah sudah memberikan gambaran bagaimana jadi orang tua jauh sebelum Akira lahir 13 Maret lalu. Sekarang saya paham, nada-nada sepi di tiap frame yang kamu bikin. Kita ndak pengen bayi kecil itu terbangun dari mimpi dalam tidurnya oleh gaduh dan riuh. Terimakasih yah. Dan hey, tiada hentinya saya ingin ngingetin kamu


dan kalau kamu klik karya Darrin Zammit Lupi di quotes di atas, jangan lupa siapkan tisu. Terimakasih.


Ditulis ketika Akira sedang lelap bersama mamanya.

Ende, 17 April 2021