Thursday 7 January 2016

Afghanistan: Menelusuri Negeri Mimpi Agustinus Wibowo


Seorang pemuda terbangun dari tidur oleh mimpi yang sama seperti malam kemarin. Mimpi tentang sebuah lokasi di negeri yang ribuan kilometer jauhnya dari negeri asalnya, yang harus didatanginya. Ia menghadap sang ayah dan berkata “aku ingin melakukan perjalanan, memenuhi pencarian-ku”. Ia meninggalkan sekolahnya, koleganya, makanan rumah yang tersedia setiap saat di meja makan, meninggalkan keluarganya, kampung halamanya dan melakukan perjalanan untuk menemukan jawaban dari mimpinya. Walau dengan modal finansial yang minim dan segala resiko yang akan menerjang di hadapanya. Banyak kisah mewarnai perjalananya menyusuri negeri-negeri asing yang membawanya ke tempat tujuan. Pertemuan dengan budaya dan orang asing, mempelajari bahasa asing, kehabisan uang, dirampok, menjadi pengembala demi kelangsungan hidup dan banyak lagi kisah yang sudah menghiasi pencarianya. Semua pengalaman pahit-manis itu membuat pemuda tersebut menjadi seorang yang kaya; kaya akan pelajaran tentang siapa dirinya dan apa makna pencarianya; mimpinya. Pemuda itu bernama Santiago, tokoh fiktif karya Paulo Cuelho dalam salah satu novel yang menjadi teman favorit bagi kebanyakan “backpack-traveler” di seluruh penjuru bumi ini – The Alchemist. Sama halnya dengan Santiago, Agustinus Wibowo adalah seorang pemuda yang mengalami mimpi yang sama, mimpi tentang sebuah negeri yang berada ribuan kilometer dari kasur nyamanya. Bedanya, Santiago bermimpi akan Piramida di Mesir, Agustinus Wibowo memimpikan Afghanistan, lengkap dengan bisikan lembut gadis eksotis bercadar biru. “ini adalah perjalanan yang dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi untuk menyingkap rahasia negeri Afghan. Mimpi yang membawa saya berjalan ribuan kilometer untuk menemukan rohnya, menikmati kecantikannya, merasakan air mata yang membasahi pipinya…,” tulis Agustinus Wibowo dalam notas de vianje(1)-nya.

© Agustinus Wibowo

Dan Cephas Photo Forum sangat beruntung bisa menikmati kisah perjalanan Agustinus Wibowo pada Jumat malam, 6 Mei 2011 di Multiculture Campus Realino Yogyakarta. Kisah perjalanan seorang pemuda luar biasa, yang ditampilkan dengan karya fotografi lengkap dengan cerita pahit-manisnya, membuat peserta diskusi berkelana liar kedalam ‘negeri mimpi’ sang pencerita. Mimpi tentang Afghanistan, Pakistan, Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan… Mimpi-mimpi Agustinus Wibowo telah menjelma dalam bentuk buku: Selimut Debu dan Garis Batas yang ditulis dengan indah(2). Dan saya merasa sangat terhormat untuk bisa menuangkan ‘tafsir mimpi Afghanistan’ milik seorang ‘backpacker’ yang humble ini, seorang yang telah menginspirasi ribuan pengelana dalam negeri dengan mimpi-mimpi yang sudah ditulisnya pada sebuah media nasional.

Bagi Sigmund Freud, mimpi adalah akumulasi hasrat bawah sadar yang hadir disaat seorang tertidur. Dalam mimpi, seseorang bisa menjadi apapun, berada dimanapun, melakukan apapun semena hati(3). Dalam mimpi, konteks ruang dan waktu yang menjadi satu-satunya pembatas ragawi, serta merta luruh. Dan dalam mimpi, seorang manusia menjadi seutuhnya bebas. Saat sebuah mimpi berakhir, kita akan kembali ke alam sadar dan terkadang, jika sebuah mimpi terlalu indah, rasanya tidak ingin terjaga sama sekali. Bagaimana jika mimpi indah itu menjadi kenyataan, begitu indahnya hingga kita sendiri tidak percaya dan mencoba berteriak – siapa saja tolong bangunkan saya!. Mungkin ini adalah apa yang dirasakan oleh Agustinus Wibowo  pada Juli 2003, hingga ia menepuk-nepuk pipinya, meyakinkan pada dirinya sendiri dalam sebuah ‘falang coach’: Ini bukan mimpi. Saya sudah berada di Afghanistan! Bahkan pada tahun 2006, Agustinus Wibowo kembali ‘pulang’ ke Afghanistan dan menetap selama tiga tahun disana, bekerja sebagai seorang fotojurnalis untuk media Afghanistan. Bisikan roh Afghanistan sepertinya masih menghantui Agustinus Wibowo, walau sadar bahwa Afghanistan di tahun 2006 akan sangat berbeda dengan Afghanistan di tahun 2003. Hal itu lantas tidak menghentikan langkah kakinya, melewati pintu perbatasan dan masuk wilayah Afghanistan, untuk kembali berselimut debu.

© Agustinus Wibowo

Afghanistan?!!. Ketika mendengar kata Afghanistan, kognisi saya secara otomatis menghadirkan ratusan imaji penuh darah(4). Pria dengan AK47, bekas peluru di dinding, RPG, bangkai tank, bangkai helikopter, bom mobil, paket bom, amputasi, janda, gelandangan, perempuan korban kekerasan rumah tangga, anak-anak dalam keadaan kritis dan masih banyak lagi imaji-imaji yang bernuansa suram yang koheren dengan kata ‘afghanistan’. Agustinus Wibowo mengakui hal yang sama, ketika pertama kali mendengar dan bahkan saat pertama kali menginjakan kaki di negeri Afghanistan. “Impresi saya tidak jauh berbeda dengan teman-teman tentang Afghanistan”, ungkapnya. “Dan kebanyakan fotografer yang baru pertama kali tiba di Afghanistan akan memotret hal yang serupa”, Agustinus Wibowo berujar lebih lanjut. Hal ini tidaklah serta merta menjadikan kita sebagai seorang yang stereotipikal-negatif. Karena menurut saya (penulis-red), ini adalah ketidakberdayaan kita sebagai konsumen media massa yang dengan kekuatannya telah berhasil membentuk “kerangka real” tentang ‘gambaran dunia’. Film, pemberitaan surat kabar, televisi, konten visual, audio visual yang dibingkai oleh media massa memiliki peran besar dalam hal ini, menciptakan ‘impresi’ kita pada Afghanistan dan ‘negara-negara konflik’ lainya. Agustinus Wibowo kemudian menyajikan serangkaian foto-foto yang diambilnya ketika pertama kali bersentuhan dengan Afghanistan. Dan memang benar adanya, seolah-olah menguatkan referen dalam kognisi saya sebagai orang yang belum pernah menginjakan kaki ke Afghanistan, yang hanya mengenal Afghanistan melalui media massa, imaji-imaji ‘suram’ itu muncul di layar proyektor. Korban ranjau darat dengan hanya satu kaki yang utuh, gelandangan yang pulas ditengah keramaian, wajah-wajah lesu tanpa harapan dan segala jenis ekspresi yang dihasilkan oleh sebuah kata: “perang”. Inilah Afghanistan yang selama ini saya kenal, inilah wajah sebuah negeri yang dijajah, diporakporandakan oleh kekuatan asing, inilah wajah sebuah negeri yang bergeliat dalam konflik berkepanjangan, inilah hidup keras suku nomaden yang conservative, primitive dan irrational.
Sambutan pertama yang diterimanya di negeri Afghanistan adalah debu. “Begitu saya menginjakan kaki di Afghanistan, yang langsung menyeruak kedalam mulut saya, kedalam gigi saya (rongga mulut, red), kedalam telinga adalah debu. bahkan orang Afghanistan sendiri mengatakan bahwa debu adalah makanan sehari-hari” kenang Agustinus Wibowo. Lebih lanjut lagi Agustinus Wibowo memaparkan “debu memiliki makna yang amat dalam bagi bangsa Afghanistan, debu adalah tanah, sejarah, masa lalu, kebanggaan, dan masa depan mereka, karena dalam debu itulah mereka akan menemui penciptanya suatu saat nanti”. Berangkat dari pengamatanya akan makna filosofis bangsa Afghan terhadap debu, Agustinus Wibowo kemudian merumuskan judul buku yang dikerjakanya “Selimut Debu”. Disini, Agustinus Wibowo melihat bahwa debu adalah representasi dari kemiskinan, perang dan segala hal yang suram tentang bangsa Afghan. Dan kesan negeri dengan ‘selimut debu’ sangat terasa dalam slideshow foto yang dibuat ketika pertama kali bersentuhan langsung dengan Afghanistan.
Ada sebuah foto yang sangat attractive buat saya dari slide show ‘Selimut Debu’ yang ditampilkan oleh Agustinus Wibowo. Sebuah foto yang diambil di kota Kabul, sebuah frame yang merekam seorang lelaki Afghan, berjalan menyusuri jalanan berdebu sambil membawa balon berwarna warni yang sangat kontras dengan dengan lingkungan sekitar. Semua informasi, referen dalam benak saya akan “gambaran Afghanistan yang kacau balau” serentak hilang. Foto tersebut sangat sederhana, namun sangat menggugah “impresi saya-pictures in our head” tentang Afghanistan. Sebagai seorang fotografer, saya harus katakan bahwa untuk bisa menghasilkan karya seperti ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, membutuhkan lebih dari sekedar penguasaan teknik fotografis namun juga keberuntungan. Saya melihatnya dan bertanya pada diri sendiri: apa yang akan muncul di kepala saya ketika mendengar kata Afghanistan: imaji laki-laki Afghan membawa puluhan balon berwarna-warni menyusuri jalan berdebu, gersang dan sepi atau gambar seorang laki-laki Afghan menenteng AK 47 dengan sorot mata predator di depan reruntuhan gedung? Agustinus Wibowo berhasil menghadirkan pada saya sebuah drama kecil yang terjadi di Kabul, kota yang notabene cukup “chaotic”. Sebuah drama yang menyegarkan dahaga visual saya terhadap Afghanistan.
© Agustinus Wibowo

Saya kemudian menduga-duga, apakah ini ‘mimpi’ yang ingin dikejar oleh Agustinus Wibowo? Dugaan saya tidak meleset setelah melihat slide show ke dua yang ditampilkan beberapa saat kemudian oleh Agustinus Wibowo. “saya bertanya pada diri sendiri, apakah ada surga di Afghan?” ungkap Agustinus Wibowo. Berbekal arahan seorang backpacker asal Jepang, yang disebutnya mirip filfuf Konfusius, Agustinus Wibowo membulatkan tekad dalam hatinya untuk menjelajah daerah pegunungan dan perbukitan gersang, menyisir sungai-sungai dan kota-kota kecil untuk menemukan ‘firdaus keci’ yang tersembunyi itu. Dan seperti diseret kedalam dimensi lain, foto demi foto yang silih berganti tampil di layar putih itu menunjukan Afghanistan yang lain, dalam balutan warna yang indah, menghadirkan kekayaan peradaban Afghanistan yang luar biasa ditambah sorot mata penduduk Afghanistan yang menawan, yang terekam lewat lensa Agustinus Wibowo. Secara khusus Agustinus Wibowo mengungkapkan pula bahwa “sorot mata orang Afghan-lah” yang membuat dirinya semakin jatuh cinta dan larut dalam pencarian mimpinya akan Afghanistan. “Afghanistan adalah negara paling indah, paling fotogenik buat saya. Dan yang membuat saya jatuh cinta pada Afghanistan adalah tatap mata orang Afghanistan yang begitu tajam dan menyihir”. Perasaan yang sama saya dapatkan setelah melihat portraiture penduduk Afghan yang disajikan oleh Agustinus Wibowo, saya dan teman-teman lainya tersihir oleh sorot mata orang Afghanistan yang menawan, menyiratkan misteri yang tersembunyi dari ‘khaak’ – jiwa Afghanistan. Kata orang mata adalah jendela jiwa, dan saya percaya itu. Saya teringat pada kisah Steve McCurry, seorang fotografer National Geographic yang menghabiskan 17 tahun untuk menemukan ‘Gadis Afghan’ yang dipotretnya pada tahun 1985. Saya semakin yakin dengan dahsyatnya daya magis tatapan mata orang Afghan yang dirasakan oleh Agustinus Wibowo, dan saya yakin Steve McCurry juga tersihir oleh pesona yang sama. Apalagi setelah slide show foto-foto dari bagian Utara Afghanistan diperlihatkan di layar proyektor, menampilkan gambar-gambar pemandangan alam yang penuh warna cerah, wajah-wajah dihiasi senyum ramah, keunikan budaya Afghan yang kaya dan banyak lagi dimensi kehidupan bangsa Afghan yang mengundang rasa kagum.

© Agustinus Wibowo

Agustinus Wibowo menemukan kepingan kecil dari surga yang dicarinya disana, lengkap dengan pria berotot bak Ade Rai, senyum manis perempuan Afghan, ladang gandum menghijau, pesta rakyat serta puluhan imaji lainya yang merepresentasikan ‘kebanggaan sebagai bangsa Afghan’. Seolah-olah ingin berujar “inilah Afghanistan-ku”, inilah mimpiku; Agustinus Wibowo memaparkan nilai-nilai unik kebudayaan bangsa Afghan, tentang bagaimana upacara pernikahan, kebiasaan kaum pria di waktu luang, kebiasaan kaum wanita untuk memanjakan diri, keramahan penduduk utara Afghanistan, kekayaan norma sosial, bahasa dan hal-hal menarik lainya yang mana jauh dari kata “perang” dengan segala atribusinya; dibalik tampilan foto-foto yang tersaji. Agustinus Wibowo memberikan pada kita Afghanistan yang ‘dimimpikanya’ melalui foto-foto yang manampilkan penggalan drama keseharian bangsa Afghanistan yang tidak melulu tragedi. Banal, seperti yang beredar di mass media khususnya media pemberitaan (yang seolah-olah) jurnalistik, yang bersembunyi dalam selimut “news worthy” dengan tag line besar “bad news is good news“. Belum lagi agenda pembingkaian editorial dengan segala kamuflase ideologi yang terkandung didalamnya.  Well, bad news is good money in the end
Bagaimana Agustinus Wibowo melakukan hal ini, menangkap dan menghadirkan Afghanistan yang ‘lain’ , yang jauh dari tragedi dan debu pada kita? Mengungkap dinamisnya nilai-nilai sosial dan praktek kemasyarakatan Afghanistan seperti layaknya seorang Afghan? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya merasa perlu untuk menelusuri pribadi sang ‘traveler’ ini. Dan dari sharingnya saya sedikit mengetahui visinya akan traveling. “saat kita sampai pada titik dimana ego dan identitas kita melebur; kita bukan siapa-siapa lagi. itulah filosofi seutuhnya dari travelling”, Agustinus Wibowo menambahkan juga “hal yang menarik dari backpacking adalah kesempatan kita berinteraksi dengan penduduk lokal lebih banyak. dengan backpacking kita benar-benar (dituntut untuk-red) tanggungjawab terhadap diri sendiri dan kita benar-benar berinteraksi”, tidak melihat dunia dari balik kaca seperti kebanyakan paket wisata. Baginya, jumlah stempel imigrasi bukan hal yang penting, yang terpenting adalah apa yang bisa dipelajari dari interaksi dengan penduduknya bahkan pada pengalaman yang tidak mengenakan sekalipun. Karena kita masih bisa mempelajari makna dari hal-hal buruk yang menimpa untuk memperkaya pemahaman kita akan kehidupan. Dan menurut saya, Agustinus Wibowo adalah orang yang sangat positif dalam memaknai segala macam kejadian dalam kehidupan ini. Ini tersirat secara implisit dari cerita Agustinus Wibowo ketika dalam dua hari berturut-turut mengalami perampokan di Mongolia atau lebih buruk lagi, dikeroyok polisi Afghanistan hanya karena dicurigai sebagai teroris. Saya dengan mudah menangkap pribadi Agustinus Wibowo yang postif secara eksplisit dari foto-foto yang dihadirkanya, karena untuk bisa menghasilkan foto yang intim seperti yang dihasilkanya butuh keterbukaan dalam interaksinya dengan subyek, butuh rasa respect yang tinggi terhadap subyek. Garry Winogrand, street photographer Amerika pernah bertanya pada seorang temanya yang mengeluhkan hal-hal remeh ketika diajak ke Mexico“it sounds like you’re talking about your own comfort”- kenapa kita harus memikirkan kenyamanan dirimu sendiri?(5). Dengan memikirkan hal seperti itu, kita sudah membangun benteng pertahanan yang membuat kita akan enggan berinteraksi dengan masyarakat daerah asing yang kita datangi. Dan kita tidak akan mempelajari apapun. Agustinus Wibowo menghabiskan tiga tahun di Afghanistan, dan selama itu pula Agustinus Wibowo ‘melebur’ kedalam masyarakat Afghanistan. Mengamati dan mempelajari keunikan dan dinamika kehidupan bangsa Afghan, memperkaya kosa-kata verbal dan visualnya akan makna “khaak”, makna Afghanistan. Hasilnya adalah tulisan dan karya fotonya yang sangat mempesona.

© Agustinus Wibowo

© Agustinus Wibowo

Perlu kita ingat bahwa Agustinus Wibowo berangkat ke Afghanistan sebagai seorang ‘musafir’ yang kebetulan membawa kamera. Ini yang membedakan Agustinus Wibowo dengan fotografer yang melakukan penjelajahan ke negeri jauh lengkap dengan “baju zirah, pedang dan kuda putih”, laksana ‘crusaders with camera‘ seperti kata Susan Sontag. Hal dasar yang membedakanya adalah motif dari semangat “be there” milik Agustinus Wibowo dengan fotografer yang juga (pernah) ke Afghanistan. Kamera bagi Agustinus Wibowo adalah media rekam visual yang dimanfaankan sebagai ‘recall tool‘ – alat pengingat untuk hal-hal yang dijumpainya, sebagai bahan pelengkap catatan perjalananya (travel log, travel writings). Mari kita kenang John Thomson; seorang eksplorer asal Scotland, salah satu pionir photo documentary yang menjelajah dunia hingga ke tanah Singapura dan Jawa di tahun 1860an(6). Thomson mengemban misi suci documentary “to see, to record and to comment”, Agustinus Wibowo berkelana ke Afghanistan dengan sebuah misi: “menemukan roh” dari sebuah bangsa, merasakan atmosfir kehidupan masyarakatnya dan menemukan jati dirinya yang diperoleh hanya melalui interaksinya dengan warga Afghanistan yang dijumpainya; menemukan jawaban dari mimpinya dan menemukan arti perjalananya.“Saya hanya seorang musafir, yang mensyukuri dan mengagumi keindahan peradaban. Saya bersiap melangkah maju menuju zaman berbeda, hanya dengan menginjakan kaki di pintu gerbang negeri seberang. Sementara negeri Afghan tetap merayap dalam dimensi zamannya sendiri. Khaak, kebanggaan itu bukan sekedar bulir debu biasa yang beterbangan diterpa angin kering” _ Agustinus Wibowo, dalam kalimat penutup buku Selimut Debu.

Karolus Naga/Cephas Photo Forum

Agustinus Wibowo adalah seorang traveler, writer dan photographer. Penulis rubrik Petualang di  harian Kompas ini telah menerbitkan dua buku perjalanan: Selimut Debu dan Garis Batas. Karya fotografi Agustinus Wibowo dapat diakses di halaman website pribadinya http://avgustin.net/gallery.php

catatan kaki:
(1) Notas de Vianje = travel log, atau catatan perjalanan, diary. Ernesto Guevara mengambil istilah ini untuk judul buku perjalanannya menelusuri Amerika Selatan bersama seorang sahabatnya mengendarai sepeda motor, edisi bahasa Inggrisnya diterjemahkan sebagai “Bicycle Diary”
(2) Selimut Debu adalah buku karya Agustinus Wibowo yang berkisah tentang Afghanistan, sebuah negeri dimana masyarakatnya mempunyai pandangan menarik tentang ‘khaak’ atau debu, yang memiliki lebih bermakna filosofis. khaak bermakna ‘tanah air’ – kebanggaan negeri.  Sedangkan Garis Batas adalah buku karya Agustinus Wibowo yang mengisahkan dinamika kehidupan dalam negeri-negeri pecahan Uni Soviet. Garis Batas adalah pengamatan Agustinus Wibowo akan hal-hal yang memisahkan manusia dengan manusia lainya. Kedua buku ini diterbitkan oleh Penerbit Gramedia.
(3) Sigmund Freud dalam karyanya “Interpretation of Dreams” merumuskan bahwa dalam mimpi seseorang secara tak sadar berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang tujuan yang diinginkan, karena di alam nyata (sadar) sulit bagi kita untuk mengekspresikanya pada obyek-obyek yang menjadi sumber mimpi. Keinginan itu muncul dalam bentuk mimpi.
(4) Walter Lippmann menyebutnya sebagai ‘the pictures in our head’ – sebuah kondisi dimana referensi imaji dihadirkan oleh otak manusia ketika menerima stimulus akan sebuah obyek. kita memiliki sebuah gambaran tentang sesuatu obyek berdasarkan pengalaman indrawi, ketika “bersentuhan” baik langsung atau tidak langsung dengan obyek tersebut.
(5) Dalam BBC Knowledge, Genius of Photography.
(6) LIFE library of Photography, Documentary Photography, TIME LIFE Books, Netherlands 1971

No comments:

Post a Comment