Thursday 7 January 2016

Jihad: Ziarah Rohani dan Perang Suci

Pada sekitar tahun 1850 SM, seorang lelaki bernama Abram meninggalkan rumahnya di Ur Kasdim dan melakukan perjalanan menuju tanah Kanaan, Israel moderen. Abram dititahkan oleh Yang Maha Agung untuk hijrah. Sang Maha Agung rupanya telah memutuskan untuk menjadi Tuhan Khusus bagi Abram dan keturunanya. Abram harus mengganti nama menjadi Ibrahim, sebagai tanda bagi status barunya, dan ia harus berjanji setia pada Tuhan, dengan balasan berupa berkah bagi Ibrahim dan keturunannya. Peristiwa ini telah mengubah dunia hingga saat ini.




Beberapa pekan lalu ketika mengunjungi negeri Jerman, Paus Benedicto XVI menyempatkan diri bertemu dengan para sarjana di sebuah universitas di Jerman dan berpidato di sana. Salah satu kutipan dalam pidatonya menimbulkan reaksi dari umat Islam di seluruh dunia yang memaksa “Sang Kefas” harus menarik kembali ucapannya dan meminta maaf pada umat Islam di seluruh dunia pada hari Minggu 17 September kemarin. Dalam pidatonya, Paus mengkritik konsep Jihad dalam Islam sebagai sebuah tindak kekerasan (bahkan saya melihat lebih jauh: teror!). Sebagai orang yang awam akan agama (terlebih Islam) saya bertanya-tanya pada diri sendiri; apa benar Jihad dalam Islam demikian adanya? Apa sih sebenarnya Jihad? Saya merasa penting sekali untuk memahami konsep Jihad dalam Islam.
Setelah mencari beberapa sumber, akhirnya saya menemukan pengertian tentangnya. Jihad berasal dari bahasa Arab, yang secara harafiah berarti “perjuangan” dan biasa digunakan dalam Alquran sebagai kata kerja: kaum Muslim didorong untuk “berjuang secara perkasa di Jalan Tuhan”. Gagasan perjuangan dan pencapaian ini demikian penting dalam Islam dan kata Jihad selalu mempertahankan konotasi ini. Tetapi paling sering kata “perjuangan” ini mengacu pada perang yang dilakukan Muhammad melawan orang-orang Arab nonmuslim di Arabia. Di kemudian hari, setelah maknanya diperluas, kata ini menjadi bermakna “perang suci” dan dalam pengertian itulah kata ini didiskusikan dalam pembahasan Syariah, berabad-abad setelah Muhammad wafat. Perang yang dilakukan oleh Muhammad dikenal dengan Perang Badar, yang disebut farqan oleh Muhammad. Kata farqan sendiri memiliki makna ganda dalam bahasa Arab yang berarti “penyelamatan dan pemisahan”.
”maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (Allah yang berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir” (Q.S. al-Anfal [8]: 17-18).
Kemenangan tak terduga ini (313 orang Muslim melawan hampir 1000 tentara Mekah) senyatanya menjadi pembuka perang suci atau Jihad (semula tidak dimaksudkan oleh Nabi). Namun hal ini pun tidak membuat Islam menjadi agama pedang, seperti apa yang dikatakan oleh Kaisar Konstantin dalam pidato Sri Paus. Kata Islam sendiri berasal dari akar bahasa Arab yang berarti “damai”. Alquran mengutuk perang sebagai keadaan tak lazim dan bertentangan dengan kehendak Tuhan: ketika para musuh kaum Muslim berbuat kerusakan maka Allah memusnahkan mereka. Perang dalam Alquran dipandang sebagai sebuah keadan yang tak terhindarkan dan kadang menjadi kewajiban positif untuk mengakhiri penindasan dan penderitaan. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dianjurkan pada Taurat dalam lima bab awal Alkitab. Walaupun Islam tidak mendewakan perang, adalah benar jika konsep Jihad amat penting dan menentukan dalam Islam. Ketika kaum Muslim tak taat lagi pada Tuhan, para kelompok Muslim yang saleh menarik diri dari masyarakat dan melakukan migrasi ke gurun pasir. Mereka memandang diri mereka sebagai kaum yang diburu oleh kelompok mapan dan merasa kamu muslim wajib bertindak demi mengakhiri penindasan. Kelompok pertama dan yang paling radikal lahir pada abad ke VII, sekte Kharaji, yang menganggap Jihad sebagai salah satu rukun Islam.
Pada tahun 628, Muhammad dan sekitar 1400 Muslim berangkat dari Medinah menuju Mekah untuk melaksanakan Ibadah Haji. Seturut dengan titah Muhammad para tentara ini tidak membawa senjata lainnya kecuali pedang yang disarungkan. Kedatangan Muhammad dengan tentara sejumlah itu membuat para warga Mekah ketakutan kalau Muhammad menyerang. Namun Muhammad malah berhenti di Hudaybiyyah, di luar Tanah Haram (wilayah 20 mil persegi Kabah, tempat dimana semua tindak kekerasan dilarang). Muhammad berkata pada utusan orang Mekah bahwa Ia hanya ingin melaksanakan ibadah Haji sebagai hak setiap orang Arab. Melalui diskusi yang alot dan dengan sejumlah syarat akhirnya orang Mekah mengijinkan Muhammad menjalankan ibadah Haji dan selama itu orang Mekah akan mengungsi ke luar kota. Perjanjiann tersebut berlangsung selama 10 tahun, sebelum orang Mekah melanggarnya dengan menyerang suku Khuzza, sekutu kaum Muslim. Muhammad dengan lebih banyak tentara berangkat ke Mekah. Penduduk Mekah mengirim utusan dan berunding dengan Muhammad guna menghindari pertumpahan darah. Muhammad mengajukan syarat jika Mekah menerimanya sebagai pemimpin maka pertumpahan darah tidak akan terjadi. Tak ada orang Mekah yang dipaksa masuk Islam, ia hanya akan menghancurkan berhala-berhala yang ada di Kabah dengan tangannya sendiri. Muhammad pun akhirnya menjadi pemimpin Mekah dan ia telah mengembalikan Kabah pada agama Ibrahim dan Ismail. Pada tahun 632, Muhammad memutuskan untuk meng-Islam-kan tempat-tempat ibadah pagan di sekeliling Mekah, yang menjadikannya sebagai upacara ziarah Haji (dikenal hingga sekarang). Pada setiap tempat ibadah, ia dan pengikutnya melakukan dan menafsir ulang semua ritus-ritus berhala Arab yang lama. Mereka melempar kerikil ke pilar di Mina, sebagai perlawanan terhadap iblis (ramalan dalam Wahyu tentang Binatang Buas yang merangkak dari dalam sumur untuk membinasakam umat manusia, bagi orang Kristen makluk ini desebut Anti Kristus) dan ketakbermoralan. Mereka lari tujuh kali antara lembah Ahafa dan Marwa, mengenang kecemasan bunda Ismail, Hajar, ketika ia harus lari dengan keputusasaannya mencari air selama hari-hari pertamanya di pengasingan di gurun pasir. Mereka minum dari mata air yang ditunjuk Tuhan pada Hajar atas jawaban dari doanya. Muhammad juga melakukan ifadlah, melaju, dengan untanya ke sebuah tempat di Muzdalifah, titik terendah antara gunung Arafah dan Mekah.
Ketika kaum Muslim melaksanakan Haji ke Mekah masa kini, mereka datang dari seluruh penjuru dunia dan memakai pakaian putih, yang menandakan kesetaraan. Kesetaraan semua orang di mata-Nya. Disamping itu hal ini membuat mereka merasa sebagai sebuah keluarga besar yang datang dari Ayah yang sama, Adam dan Ibrahim. Muhammad wafat pada tahun 632. Namun ia berhasil menyatukan hampir seluruh Hijaz. Seratus tahun kemudian kekaisaran Islam baru tersebar dari Himalaya hingga Gilbratar. Perluasan wilayah pada masa ini tentu saja melalui sejumlah perang yang panjang.
Setelah kematiannya, kaum ulama dan fukaha mulai mengembangkan teori Jihad. Mereka mengajarkan bahwa karena hanya ada satu Tuhan, maka mestinya hanya ada satu negara di dunia ini dan negara itulah harusnya tunduk pada agama sejati. Negara Muslim (Dar al-Islam) wajib menaklukan negara non Muslim (Dar al-Harb) mereka sehingga dunia dapat mencerminkan satu Ilahiah. Setiap Muslim harus berpartisipasi dalam Jihad dan Dar al-Islam tidak boleh berkompromi dengan Dar al-Harb. Paling jauh, gencatan senjata dapat disepakati dengan kaum non Muslim, yang berlangsung paling lama sepuluh tahun. Doktrin awal tentang Jihad inilah yang memberikan citra Islam sebagai agama pedang. Teori ini dapat dikembangkan ketika Dar al-Islam nampaknya memang dapat menguasai dunia. Namun tidak terjadi demikian. Dar al-Islam mengalami masalah internal dan kaum Muslim menyadari bahwa bahwa tidak ada lagi perang suci menaklukan dunia baru. Kaum Muslim juga menyadari bahwa mereka memiliki kekaisaran dengan batas yang tetap dan sebagaimana kekaisaran Yahudi dan Kristen, mereka menyadarai kemenangan bagi mereka hanya ada pada tibanya Hari Akhir. Daripada berperang melawan negara tetangga mereka memilih untuk berdiplomasi dan mengembangkan kontak-kontak dagang dengan dunia luar. Pada titik ini konsep Jihad ditinggalkan.
Jika orang Barat ditanya mengenai tiga agama monoteistik (Yahudi, Kristen dan Islam), mana yang paling keras di antara mereka; mereka tanpa ragu akan menjawab “Islam!”. Selama ratusan tahun orang Barat mengenal agama Islam sebagai agama pedang, yang merupakan prasangka warisan sejak periode Perang Salib dimana Jihad menjadi hantu yang mengerikan, yang menyapu bersih Timur Tengah dan Afrika Utara. Ini adalah salah satu contoh pandangan distorsif Barat terhadap Islam, agama yang (kebanyakan) tidak mereka kenali. Walapun tidak dapat disangkal bahwa “perang suci” atau Jihad memainkan peran yang amat penting dalam penyebaran agama Islam, tetapi sangatlah keliru jika memandang Islam sebagai agama yang haus darah dan agama yang agresif. Ketika kaum Muslim menaklukan sebuah masyaeakat, mereka tidak berusaha memaksakan peralihan agama dari para penduduk daerah taklukannya (konsep kolonialisme lama Gold, Gospel dan Glory). Teladan yang ditunjukan Muhammad dalam menaklukan Mekah benar-benar diilhami decara baik oleh pengikutnya. Lagipula Alquran mengajarkan agar kaum Muslim untuk menghormati Ahlulkitab, dan dalam kekaisaran Islam kebebasan agama bagi semua orang benar-benar terjamin. Disamping itu adalah tindakan bunuh diri jika kaum Muslim memaksakan agama Islam pada penduduk jajahan, hal ini mengingat jumlah tentara jajahan yang minoritas di dalam daerah jajahan. Masyarakat yang ditundukan oleh tentara Muslim memiliki pandangan yang berbeda tentang Jihad. Mereka tidak menganggap hal ini sebagai bencana, malah sebaliknya. Kita akan menganggap hal ini aneh namun bagi masyarakat Timur Tengah abad VII penaklukan oleh kaum Muslim mengawali babak baru sejarah mereka. Mereka telah lama menjadi milik (jajahan) banyak kekaisaran. Dengan kekaisaran Islam yang unik (yang tidak memaksakan peralihan agama) mereka merasa penaklukan ini sebagai sebuah pembebasan. Satu hal yang patut dicatat bahwa Afrika Utara telah lama menjadi jajahan Romawi demikian pula agamanya. Kemudian banyak masyarakat yang takluk ingin memeluk Islam (perlu dicatat bahwa ini adalah pandangan masyarakat abad VII) karena keunikannya. Bagi Dunia Timur Tengah dan Afrika Utara, Islam menawarkan agama yang jauh lebih dapat diterima ketimbang Kristen, teologinya jauh lebih sederhana. Doktrin Kristen tentang Trinitas misalnya, akan sangat indah bagi seseorang yang dibesarkan dalam falsafah Yunani. Tapi bagi seorang Timur Tengah dogma tersebut sangat tidak dapat diterima. Pertanyaan yang kemudian muncul: bagaimana seorang Yessus kemudian menjadi Tuhan (Kristus) dan sekaligus manusia (Isa)? (hal ini kemudian dianggap bidah dan diburu oleh Kristen Ortodoks dari Byzantium). Mereka lebih menerima Yessus sebagai nabi yang agung (Isa al-Maseh) karena hal ini lebih masuk akal.
Pada masa sekarang orang Barat cenderung memandang Islam sebagai agama yang bertentangan dengan kemajuan. Ini karena budaya Barat telah menggusur budaya Muslim tradidional dan hal ini juga merupakan waeidan periode kolonial, ketika Islam digambarkan sebagai agama-fatalistik yang anti perubahan. Namun Islam sebenarnya agama-dinamis yang menuntut aksi: kaum Muslim harus bertindak untuk mempraktikan maksud Tuhan. Istilah yang digunakan kaum Mislim kebanyakan bersufat dunamis, yang mengungkapkan gerakan dan perjuangan. Ketika orang Arab meninggalkan semenanjung Arabia setelah kematian Muhammad pada awal mula Jihad mereka, mereka masih semi-barbar. Seratus tagun kemudian, mereka menjadi kekuatan dunia dan berhasik menciptakan kebudayaan baru dengan kekuatan dan keindahan besar. Islam, dalam pengertian tertentu, adalah agama sinkretis: Islam dibangun di atas dua agama yang lebih tua, Yahudi dan Kristen, serta menggabungkan mereka dengan tradisi Arab. Sebuah bukti nilai adaptasi yang luar biasa dalam Islam.




20 September 2006, disadur dari Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Imapct on Today’s World, Anchor Books, NY, 2001.